“Hak korban meningkat: Korban tindak pidana HAM berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat bisa mengakses bantuan medis, psikosial dan psikologis”
Pada siang ini RUU Perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban akhirnya disahkan menjadi Undang-undang oleh Rapat Paripurna DPR. Sebelumnya RUU ini secara marathon telah dibahas, baik pada Rapat Panja I (JW Marriot, 28 – 30 Agustus), Panja II (Salak, 5 – 7 September), Panja III (Nusantara II, 9 – 10 September). Rapat Panja IV (senin tanggal 15 September 2014). Dan laporan akhir Panja (23 September 2014).
Menurut Supriyadi Widodo Eddyono, anggota Koalisi dari Institute Criminal Justice Reform, (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi menyambut baik hasil keputusan Paripuna DPR hari ini yang mendukung disepakatinya beberapa perubahan dalam Undang-undang tersebut.
Supriyadi menyatakan ada beberapa kemajuan signifikan yang terlihat dalam undang-undang adalah kemajuan tersebut adalah: Pertama, semakin menguatnya pemberian bantuan hak korban khususnya hak atas bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis. (pasal 6). Bantuan medis psikososial dalam UU ini bisa di akses tidak hanya bagi korban HAM berat namun juga bagi korban tindak pidana lainnya Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat. “Ini adalah aturan yang paling penting bagi korban di Indonesia”, kata Supriyadi. Dengan adanya pasal ini maka semakin dekatnya tanggung jawab Negara dalam pemberian hak korban kejahatan
Perbaikan Kedua adalah,semakin memadainya hak saksi dalam perlindungan misalnya adanya hak pendampingan bagi saksi, perlindungan bagi ahliyang memberikan keterangan dan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi saksi. Dan yang Ketiga adalah penguatan kelembagaan LPSK yang sangat memadai dan tentunya berguna bagi pelaksanaan tugas LPSK kedepan.
Walaupun begitu Koalisi masih melihat beberapa kelemahnya substansi dalam RUU tersebut khususnya pengaturan perlindungan bagi whistleblower dan Juctice collaborator dalam pasal 10 Undang-undang. Koalisi melihat Definisi Whistleblower atau Pelapor kurang memadai. Termasuk pula Syarat menjadi Juctice collaborator yang kurang lengkap. Untuk kedua hal tersebut Koalisi menilai masih banyak tantangan dalam implmentasinya ke depan.