Pada Mei 2015, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali melontarkan kritik keras terhadap sistem administrasi di pengadilan tingkat pertama, hal ini terkait kasus terselipnya berkas pengajuan peninjauan kembali tereksekusi mati Zainal Abidin di Pengadilan Negeri Palembang. Sayangnya kritik Hatta Ali ini dilontarkan pasca Zainal Abidin dieksekusi mati oleh Rezim Presiden Joko Widodo. Lebih setahun kemudian, tidak ada satu pun lembaga, baik MA, DPR atau Pemerintah yang meminta penjelasan dan membuka ke publik soal tindakan tidak profesional dan sewenang-wenang terhadap alm. Zainal Abidin.
ICJR telah berkali-kali menyerukan kejanggalan pemeriksaan PK Zainal Abidin di MA. Berdasarkan data dan penelusuran yang dilakukan ICJR dari Kepaniteraan MA dan beberapa sumber, PK Zainal Abidin baru masuk ke MA pada 8 April 2015, atau 10 tahun kemudian dari berkas pertama kali didaftarkan di Kepaniteraan PN Palembang. Berkas PK Zainal Abidin tersebut kemudian mulai didistribusikan pada 21 April 2015 kepada 3 (tiga) Hakim Agung MA, yaitu Hakim Agung M. Syarifuddin, Hakim Agung M. Desnayeti, dan Hakim Agung Surya Jaya.
Dalam hitungan yang sangat cepat dan tidak wajar untuk pemeriksaan PK di MA, PK Zainal Abidin diputus pada 27 April 2015, hanya 2 (dua) hari sebelum eksekusi dilakukan. Hal yang menjadi tanda tanya adalah karena Zainal Abidin telah dipindahkan ke ruang isolasi di Nusakambangan pada 24 April 2015. Hal ini berarti Zainal Abidin sudah dipastikan untuk dieksekusi padahal Putusan PK yang bersangkutan belum diputus oleh MA.
ICJR menilai bahwa waktu putus PK Zainal Abidin bisa jadi merupakan rekor waktu tercepat pemeriksaan dan pengumuman putusan yang pernah dilakukan oleh MA. Selain itu, fakta bahwa Zainal Abidin telah dipindahkan ke ruang isolasi pada saat PK nya sedang diperiksa dan putusan baru dibacakan 2 hari sebelum eksekusi mati, janggal, tidak dapat diterima dan sewenang-wenang.
ICJR mengindikasikan bahwa MA sengaja memutus perkara Zainal Abidin dengan cepat dan tidak wajar untuk memuluskan eksekusi mati yang akan dihadapi oleh Zainal Abidin. Hal ini bertentangan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Tindakan MA memutus untuk semata-mata memuluskan eksekusi mati, bertentangan dengan asas ini, sebab MA sama sekali tidak melihat kepentingan keadilan bagi Zainal Abidin yang bahkan terlebih dahulu permohonannya terselip selama 10 tahun.
Belum selesai masalah Zainal Abidin terkait putusan PK dirinya yang janggal, MA kembali melakukan tindakan “sewenang-wenang” dengan melakukan pembangkangan Konstitusi. Sampai saat ini, MA belum mencabut SEMA 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan PK, meskipun MK telah mengeluarkan setidaknya tiga (3) putusan yang menyatakan bahwa pembatasan PK bertentangan dengan Konstitusi yaitu putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014, putusan No. 66/PUU-XIII/2015 tanggal 7 Desember 2015 dan putusan No. 45/PUU-XIII/2015 tanggal 10 Desember 2015. Sampai saat ini, SEMA 7 tahun 2014 juga disinyalir sebagai jalan MA untuk ikut serta memakai jubah eksekutor pidana mati, dengan tujuan memuluskan eksekusi mati yang dilakukan Jaksa.
Atas dugaan tindakan sewenang-wenang MA dalam hal menentang Konstitusi dan secara khusus terkait kasus alm. Zainal Abidin, ICJR mendorong DPR, sebagai lembaga pengawas yang bermitra dengan MA untuk memanggil MA dan memberikan keterangan dan pertanggungjawaban resmi terkait tindakan-tindakan tersebut. ICJR juga meminta MA menghormati putusan MK dengan segera mencabut SEMA 7 Tahun 2014.
ICJR juga mendorong agar kejadian yang menimpa Zainal Abidin tidak lagi terjadi, maka pemerintah harus berhati-hati dalam memastikan proses hukum para terpidana mati, kondisi yang menimpa Zainal Abidin menunjukkan bukti lemahnya peradilan pidana di Indonesia untuk memastikan hak-hak terpidana mati untuk diperlakukan secara adil.