Laporan Lokakarya Human Right and Drug Policy, Open Society Foundation, Hong Kong, 16-20 Oktober 2017
Pada 16-20 Oktober 2017 lalu Open Society Foundation menggelar lokakarya yang bertajuk Human Rights and Drug Policy yang diselenggarakan di Departemen Kriminologi Universitas Hong Kong. Lokakarya tersebut diisi oleh pemateri dari berbagai bidang yang berkaitan dengan permasalahan narkotika serta implikasinya bagi sistem hukum.Institute for Criminal Justice reform (ICJR) menjadi salah satu peserta dalam Lokakarya tersebut.
Lokakarya ini menbahasa mengenai berbagai isu penting yang mencakup: konteks sejarah pembentukan konvensi tentang narkotika serta implikasinya bagi pandangan global tentang narkotika, Implikasi konvensi tentang narkotika terhadap Hak Asasi Manusia dan Pendekatan yang harus digunakan dalam penanganan masalah narkotika terkait penggunaan dan permasalahan adiksi
Lokakarya, membahas mengenai Konvensi Tunggal tentang narkotika –The 1961 United Nation Single Convention on Narcotics Drugs yang kemudian direvisi melalui Protokol 1972. Konvensi ini menandai lahirnya rezim “Prohibition” dengan memberikan kewajiban bagi negara peserta untuk mengatasi permasalahan narkotika termasuk didalamnya penyalahgunaan narkotika secara ilegal dengan pendekatan kriminal. Tujuan yang hendak dicapai adalah menjadikan dunia bebas narkotika, hanya untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, namun dalam mencapai tujuan tersebut terdapat “unintended negative consequences” yang tanpa disadari terjadi. Secara general di setiap area di dunia “Perang terhadap Narkotika” telah melanggar Hak Asasi Manusia.
Adiksi narkotika dianggap sebagai perbuatan jahat dan masayarakat global memiliki peran untuk melawannya. Hukum domestik pun disusun tanpa memperhatikan Hak Asasi Manusia. Terdapat beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang lahir dari hukum domestik yang dibentuk dengan pendekatan prohibition kontrol narkotika.
Pelanggaran Hak Hidup
Terlanggarnya hak hidup yang dijamin oleh ICCPR sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun: ditandai dengan diaturnya hukuman mati sebagai hukuman bagi kejahatan yang berhubungan dengan narkotika, negara-negara Asean seperti Indonesia, Singapura, Vietnam dan Malaysia menerapkan ketentuan ini. Tidak hanya dalam proses hukum, pelanggaran hak hidup juga terjadi tanpa ada proses hukum atau extra judicial killing yang dilakukan pemerintah Filipina
Pelanggaran Hak Atas Peradilan yang Adil
Terjadinya penghukuman tanpa peradilan seperti yang terjadi di Filipina, dimana ada perintah untuk tembak ditempat terhadap orang terindikasi menguasai narkotika. Termasuk pengaturan tentang presumption of guilt (ketentuan hukum yang langsung menjerat pelaku yang menguasai narkotika dengan jumlah tertentu tanpa memiliki hak untuk membela diri). Hal ini juga diatur dalam UU No 35 tahun 2009 antara lain, Pasal 112 ayat (2) Penguasaan narkotika golongan I bukan tanaman diatas 5 gram serta merta dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup, Pasal 114 ayat (2) membeli, menawarkan atau menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman melebihi 5 gram serta merta dapat diancam dengan pidana mati Pasal 115 ayat (2) membawa narkotika golongan I diatas 5 gram serta merta dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup,Pelaksaan tes urin yang menyebabkan terjadi pelanggaran asas non self incrimination dimana bagian tubuh seseorang digunakan untuk menyerang dirinya sendiri
Pelanggaran Hak Atas Persamaan kedudukan di muka hukum
Hukum domestik yang mengatur tentang akses rehabilitasi secara tidak jelas berakibat terlanggarnya hak atas persamaan kedudukan di muka hukum, bahwa pemenuhan hak atas rehabilitasi bergantung sepenuhnya oleh aparat penegak hukum dengan konsekuensi adanya celah korupsi, akses rehabilitasi diperjualbelikan.
Pelanggaran Hak Atas Kesehatan
Upaya untuk mengurangi demand narkotika dilakukan dengan melanggar hukum kesehatan dimana pemberian layanan harus berdasarkan konsen, dengan konsep punitif layanan justru diberlakukan secara mandatory yang melanggar hak atas kesehatan, ketentuan ini diatur dalam UU No 35 tahun 2009 dengan mekanisme wajib lapor dimana pengguna narkotika yang gagal melaksanakan wajib lapor diancam dengan pidana penjara. Kebijakan punitif narkotika justru berdampak pada gagalnya upaya mencegah penyebaran virus HIV, karena praktik penggunaan narkotika yang tidak dikontrol dan tidak dilakukan secara legal membuat akses terhadap informasi pengguaan narkotika yang aman tidak tersedia. Diskriminasi karena hukum domestik yang tidak jelas membedakan antara pengguna, pengedar dan penyalahguna narkotika membuat akses terhadap rehabilitasi tidak menyentuh semua pengguna dan/atau pecandu narkotika.Kebijakan punitif narkotika secara jelas membuat akses kesehatan esensial tidak didapat khususnya bagi pecandu narkotik, karena pecandu akan dihukum penjara
Hukuman yang diatur dalam peraturan pun tidak proporsional dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Di Equador pidana penjara maksimum bagi peredaran narkotika mencapai 16 tahun dimana untuk pembunuhan hanya diancam dengan pidana 12 tahun penjara. Di Bolivia, pidana penjara maksimum pengedar narkotika selama 25 tahun sedangkan pembunuhan hanya 20 tahun tahun penjara. Praktik ini pun juga terjadi di Indonesia, pada Pasal 113 ayat (2) , Pasal 114 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 132 ayat (3), Pasal 133 ayat (1) dan Pasal 144 ayat (2) mengatur tentang pidana mati untuk 9 jenis perbuatan. Dengan kebijakan hukum pidana yang berat ini, lantas tidak membuat angka pengguna narkotika menurun. Berdasarkan data UNODC jumlah pengguna narkotika terus meningkat dari tahun 2006 sampai dengan 2015, yang dinyatakan dalam data berikut:
Opiates | Cocaine | Cannabis | |
1998 | 12,9 Juta | 13,4 Juta | 147,4 Juta |
2008 | 17,35 Juta | 17 Juta | 160 Juta |
Peningkatan | 34,5% | 27% | 8,5% |
Kebijakan Narkotika dengan pendekatan punitif justru lebih menyasar pengguna narkotika. Dalam konteks Asean contohnya Thailand melalui mekanisme peradilan pidana tahun 2009 sampai 2015 dinyatakan bahwa kasus narkotika jenis Cannabis yang ditangani oleh sistem peradilan pidana Thailand 94,82% berasal dari kasus dengan jumlah Cannabis kurang dari 100 gram, hanya sekitar 4,18 melibatkan kasus dengan jumlah Cannabis lebih dari 100 gram sampai dengan 5,99 kilogram. Melalui data ini dapat disimpulkan bahwa War on Drug yang digadang-gadangkan justru tidak mencapai tujuan awalnya yaitu untuk menghapus peredaran gelap narkotika.
Fenomena ini pun terjadi di Indonesia. Bahwa berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan per Oktober 2017 terdapat 29,983 pengguna narkotika menghuni Lapas dan Rutan di Indonesia, jumlah ini termasuk didalamnya pecandu narkotika. Padahal, mekanisme rehabilitasi yang dihadirkan dalam UU No 35 tahun 2009 tidak diberikan di dalam penjara, belum lagi permasalahan overcrowded Lapas menghambat kinerja Lapas dan Rutan termasuk untuk menyediakan standar kehidupan yang layak bagi pecandu narkotika di dalam Lapas dan Rutan.
Padahal hak atas kesehatan diatur dalam konstitusi Pasal 28 H ayat (1) bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia dan menurut UU Kesehatan No 36 tahun 2009 pemenuhan layanan kesehatan dilaksanakan dengan prinsip non-diskriminasi, dan permasalahan adiksi narkotika berdasarkan International Classification of Diseases and Health Problem (ICD-10) dari World Health Organization (WHO) merupakan penyakit psikis dan/atau fisik bersifat kambuhan yang membutuhkan pelayanan untuk menurunkan dampak buruk yang dihasilkan.
Oleh karena itu maka pendekatan yang harusnya dihadirkan bagi pengguna narkotika adalah dekriminalisasi dan pengurangan dampak buruk penggunaan narkotika. Penggunaan prinsip ini dapat mempersempit pasar gelap narkotika yang dilakukan dengan mengatur dan mengontrol demand atau permintaan narkotika, sehingga jika demand terkontrol dan dapat diakses secara legal, maka supply dari pasar gelap akan berkurang.
Berdasarkan hasil riset, disimpulkan bahwa tidak semua jenis narkotika menimbulkan adiksi. Penggunaan dalam jumlah tertentu tidak akan menimbulkan adiksi, terlebih lagi penggolongan narkotika yang sekarang diberlakukan oleh Konvensi dan juga hukum domestik Indonesia tidak secara tepat menggolongkan bahaya yang ditimbulkan oleh narkotika tertentu.
Praktik baik pelaksanan dekriminalisasi pengguna dan pengurangan dampak buruk narkotika dapat dilihat dari yang sudah diterapkan beberapa negara.
Salah satunya Portugal yang menerapkan dekriminalisasi pada tahun 2000. Sebelumnya pada tahun 1900-an Portugal merupakan salah satu negara miskin di Eropa mengalami 57% peningkatan jumlah kematian akibat narkotika dalam kurun 1997-1999. Pada tahun 2000 Portugal menurunkan konsumsi dan penggunaan narkotika dari tindak pidana menjadi pelanggaran administrasi dengan mengatur ambang batas penggunaan narkotika bagi satu orang untuk 10 hari
- Cannabis – 25 g
- Hashish- 5 g
- Cocaine – 2 g
- Heroin- 1 g
- Ecstasy – 10 pills
Portugal juga membentuk Komisi Dusiasi yang terdiri dari pekerja sosial, psikiater dan ahli hukum di 18 provinsi untuk menentukan apakah seseorang menderita adiksi atau tidak. Rehabilitasi atau pengurangan dampak buruk narkotika dilakukan dengan pendekatan individual. Lima tahun pasca diberlakukan dekriminalisasi tersebut angka overdosis tahunan menurun dari 400 menjadi 290. Jumlah narkotika yang berhasil disita negara juga bertambah. Jumlah pasien yang bersedia untuk di-treatment pun juga mengalami peningkatan 67% dari tahun 1998 sampai dengan 2008. Kebijakan ini secara sukses mampu mengurangi penularan HIV hampir 50% dari tahun 2000 sampai dengan 2008.
Praktik dekriminalisasi juga diberlakukan Republik Czech pada 1998 pemerintah Republik Czech melakukan riset tentang hukum narkotika disana dan berkesimpulan bahwa hukum yang diberlakukan tidak mampu mengurangi masalah penggunaan narkotika dan ketersediaan narkotika. Pasca dekriminalisasi terjadi peningkatan pengguna Cannabis sebanyak 25% namun sebagai besar dari mereka tidak menjadi pengguna tetap. Kebijakan ini juga menghasilkan penurunan penularan HIV pada pengguna narkotika menjadi hanya 1%.
Belanda juga memberlakukan dekriminaliasi penggunaan Cannabis yang bertujuan menjaga pengguna Cannabis dari akses Cannabis yang tidak aman dan narkotika jenis lain yang berbahaya. Program tersebut dilaksanakan dengan menyediakan metadon, ruang konsumsi khusus dan program penggantian jarum suntik. Hasil dari pengurangan dampak buru narkotik ini adalah menurunnya angka pengguna narkotika di Eropa, Belanda tercatat sebagai negara dengan jumlah pengguna narkotika terendah di Eropa. 25,7% Penduduk Belanda menyatakan pernah mencoba Cannabis namun tidak membuat mereka menjadi pengguna narkotika lainnya. Belanda juga tercatat sebagai negara dengan jumlah pengguna narkotika yang terinfeksi HIV terendah di Eropa.
Pada akhirnya, perlu disimpulkan bahwa tidak semua jenis narkotika membahayakan. Membatasi peredaran narkotika dengan pendekatan kriminal tanpa kontrol demand yang legal justru akan menyuburkan peredaran gelap narkotika yang membuat pengguna mengakses narkotika secara tidak aman, sehingga dampak buruk penggunaan narkotika tidak akan dapat dikurangi.
Maidina Rahmawati