MA belum memikirkan untuk menerbitkan SEMA atau PERMA praperadilan ini karena putusan MK dianggap sudah jelas.
Sebagian kalangan meminta MA menerbitkan peraturan MA (Perma) terkait pelaksanaan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Soalnya, standar dua alat bukti (permulaan) dan hukum acara permohonan praperadilan dalam KUHAP dianggap belum memadai terutama pasca putusan MK itu diperkirakan bakal “hujan” permohonan praperadilan di pengadilan.
“Menindaklanjuti putusan MK ini, MA seharusnya mempersiapkan Perma standar pemeriksaan praperadilan terkait dua alat bukti dan hukum acara praperadilan. Sebab selama ini hukum acara praperadilan dengan standar yang baik belum diatur di KUHAP,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono saat berbicara dalam diskusi bertajuk “Wajah Baru Praperadilan Pasca Putusan MK di Bakoel Koffie Jakarta, Jumat (8/5) kemarin.
Supriyadi mengatakan walaupun sudah putusan MK yang memberi panduan baru, tetapi belum menjawab seluruh persoalan praperadilan. Misalnya, selama ini proses pemeriksaan permohonan praperadilan masih menggunakan hukum acara perdata, padahal masuk pidana; bagaimana prosedur memperoleh alat bukti sah.
“KUHAP tidak mengatur standar alat bukti, karena selama ini praperadilan hanya memeriksa bukti formal terbatas administrasi surat-menyurat. Selain itu, apakah putusan praperadilan ini bisa diajukan banding atau kasasi atau tidak? Terus bagaimana kualifikasi hakimnya,” papar Supriyadi. “MA sesegera mungkin memperbaiki panduan praperadilan yang selama ini dipegang para hakim (SEMA No. 14 Tahun 1983).”
Selain itu, penyidik dan penuntut sesegera mungkin harus melakukan perbaikan prosedur pengambilan dan pengumpulan alat bukti terkait penetapan tersangka dan lain-lain agar secara professional mereka mampu menghadapi pengujian praperadilan.
“Jadi, seharusnya pasca putusa MK profesionalitas aparat penegak hukum ditingkatkan, lalu standar alat bukti juga ditingkatkan,” harapnya. Untuk itu, Perma praperadilan ini diharapkan bisa memperbaiki standar hukum acara praperadilan sesuai amanat putusan MK.
Dia mengatakan ada beberapa implikasi putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Salah satunya, diperkirakan semakin banyak perkara praperadilan ke pengadilan, sehingga aparat penegak hukum harus lebih siap menghadapi banjir praperadilan di tengah keterbatasan SDM aparat penegak hukum.
“Pesan dari putusan MK itu juga proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan harus lebih hati-hati dan cermat terutama ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, penetapan tersangka tanpa standar dua alat bukti pasti akan diuji di forum praperadilan,” tambahnya.
Pembicara lainnya, Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) PERADI Rivai Kusumanegara menilai terdapat sejumlah kelemahan akibat dimasukkannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Misalnya, praperadilan akan menjadi ‘peradilan keempat’ yang bisa memeriksa pokok perkara pidana selain pemeriksaan perkara di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan MA. Akibatnya, proses peradilan pidana semakin panjang dan bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan murah.
“Lalu, semakin menumpuknya perkara praperadilan karena seolah terbukanya upaya hukum ‘baru’ pasca putusan MK,” ujar Rivai dalam kesempatan yang sama.
Karena itu, untuk mengantisipasi dampak negatif dari implikasi putusan MK itu dibutuhkan Perma tentang Praperadilan. Perma ini mengatur hukum acara pidana praperadilan, kualifikasi penyidik dan hakimnya, jangka waktu penyelesaian permohonan praperadilan, upaya hukum peninjauan kembali (PK) hingga pelaksanaan putusan.
“Kelemahan ini perlu diantisipasi dengan membuat aturan main praperadilan. Jangka pendeknya, MA bisa mengeluarkan Perma karena harus ada pranata hukum menutupi dampak negatif dari putusan MK itu. Nantinya, aturan main ini dimasukkan dalam revisi KUHAP ke depan,” harapnya.
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan MA belum memikirkan untuk menerbitkan SEMA/Perma praperadilan ini. Sebab, dirinya menganggap putusan MK terkait tafsir bukti permulaan dan perluasan objek praperadilan sudah cukup jelas.
“Sejauh ini belum ada, karena itu kewenangan pimpinan MA untuk mengeluarkan Perma/SEMA. Kan putusannya juga sudah jelas itu, apalagi Putusan MK itu sudah diumumkan di media, tentunya para hakim bisa membacanya,” kata Suhadi saat dihubungi.
Sebelumnya, MK mengabulkan uji materi terpidana korupsi kasus proyek biomediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah dengan menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Artinya, MK telah memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan cukup yang harus dimaknai dengan 2 alat bukti yang sah ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Sumber: HukumOnline