Pada 5 Oktober 2017 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyelenggarakan Focus Group Disccussion #2 mengenai Pemetaan Akar Hukuman Mati di Legislasi di Indonesia. Hadir dalam FGD ini 6 orang narasumber ahli sebagai pemantik diskusi yaitu, Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M , Drs. Taufiqulhadi, M.Si, Dr Wicipto Setiadi, S.H., M.H., Sri Wiyanti Eddyono, S.H. LL.M (HR), Setiawan Sakti, S.H, M.H., dan Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. yang merupakan akademisi Universitas Indonesia. Masing-masing pembicara memaparkan pandangannya terkait dengan akar masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia.
Romli Atmasasmita, memaparkan bahwa akar masih berlakunya hukuman mati di Indonesia secara mendasar karena masih dianutnya nilai Kantianisme dari Immanuel Kant yang melihat pentingnya konsep moral dalam pembentukan hukum. Moral yang secara garis besar dipengaruhi oleh agama masih memegang peran yang cukup penting dalam pembentukan hukum di Indonesia, khususnya dalam proses pembentukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dimasukkannya kembali pidana mati dalam RKUHP menggambarkan bahwa aspek moral masih sangat diagungkan, dibandingkan aspek kemanfaatan. Romli juga menyatakan bahwa yang seharusnya lebih diperhatikan adalah adanya kemanfaatan dalam penghukuman. Hukuman sedapat mungkin harus menyertakan manfaat di dalamnya. Sedapat mungkin pembentukan hukum harus diubah dari pendekatan moralisme menjadi pendekatan utilitarian. Ia menambahkan bahwa hukuman mati sebetulnya melanggar pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Wicipto menyatakan pendapat yang cukup berbeda. Menurutnya hukuman mati yang masih tercantum dalam Rancangan KUHP merupakan cerminan diakomodirnya kepentingan masyarakat, namun disatu sisi juga mengakomodir kepentingan individu, hal ini terbukti dengan diaturnya pidana mati dalam KUHP dengan menyertakan atau mengalternatifkannya dengan pidana lainnya. Dr. Wicipto sepakat bahwa hukuman mati masih dapat diberikan kepada kejahatan-kejahatan tertentu seperti terorisme, genosida ataupun narkotika yang melibatkan perdagangan dengan jumlah narkotika yang cukup banyak.
Taufiqulhadi M.Si menyatakan bahwa dalam perjalanan pembentukan hukum di DPR, partai politik yang terlibat didalamnya tidak mungkin akan terlepas dari perspektif ideologis yang dianut oleh partai yang bersangkutan. Hukuman mati dalam pembahasan di parlemen memiliki akar ideologis yang mau tidak mau akan berhubungan dengan demografi konstituen atau pemilih partai politik tersebut. Menurutnya perdebatan akan terus ada, dan sedapat mungkin pembentukan hukum harus memperhatikan realitas dan sensitifitas. Maka dari itu, Tafiqulhadi menyimpulkan bahwa hadirnya Rancangan KUHP yang masih mengatur pidana mati namun dengan pendekatan pidana alternatif merupakan jalan keluar dari perdebetan antar ideologi dalam parlemen.
Setiawan Sakti, S.H. M.H. yang memaparkan tentang perjalanan pengesahan beberapa regulasi nasional dan internasional tentang hukuman mati. Terutama tentang pengakuan hak untuk hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang tertuang dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1996 yang sudah Indonesia ratifikasi pada 2005. Dari ICPPR tersebut terbentuk 2 Protokol Opsional. Prokotol Opsional kedua yang belum diratifikasi oleh Indonesia menurut Setiwan, S.H. M.H. merupakan salah satu alasan mengapa hukuman mati masih berlaku di Indonesia.
Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M (HR), Ph,D yang menjelaskan hukuman mati dalam konteks politik pembentukannya memasuki tren baru pasca reformasi dengan diaturnya hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan yang dianggap serius. Umumnya alasan yang dipergunakan adalah mengenai rasa keadilan, seperti salah satunya yang diatur dalam Perppu Kebiri yang disahkan tanpa penelitian yang mempuni. Ini sebuah kebijakan karena adanya kegoncangan jiwa masyarakat yang ingin menghukum balik pelaku, padahal menurut Sri Wijanti Ph.D rasa keadilan tidak serta merta terbayarkan dengan menghukum balik orang yang bersalah. Dalam kajian kriminologi dapat ditelaah bagaimana semua faktor harus dilihat ketika membahas mengenai alasan seseorang melakukan kejahatan. Hal yang kedua mengenai latar belakang masih berlakunya hukuman mati menurutnya lantaran masih diakuinya mitos bahwa hukuman mati memiliki efek jera untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan. Padahal pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi dengan berbagai pihak ketimbang menghukum mati pelaku. Sri Wiyanti Ph.D juga memaparkan bahwa terdapat inkonsistensi pemilihan filosofi pemidanaan yang dianut dalam Rancangan KUHP, jika menelisik naskah akademiknya, maka tujuan pemidanaan yang ingin diusung dalam RKUHP adalah keadilan restoratif, namun disatu sisi, pidana mati masih dijadikan sebagai salah satu bentuk hukuman, yang merupakan mahzab pemidanaan klasik. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan hukum dalam RKUHP bseolah tanpa arah.
Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., menegasakan persoalan hukuman mati dalam perspektif hukum islam. Menurutnya hukum Islam tidak serta merta menerapkan hukuman mati, sebagai contoh mengenai qisas, secara bahasa qisos justru diartikan sebagai “putuskan”. Ia menyatakan bahwa filosofi qisas justru adalah kompensasi dan mencari keputusan yang teradil. Dr. Eva menjelaskan bahwa yang terpenting untuk mengukur efektivitas hukuman adalah dengan memastikan bahwa suatu hukuman itu segera dan pasti.
Dalam kesempatan ini, beberapa narasumber lain juga menanggapi paparan. Ricky Gunawan dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritik beberapa proses pembahasan RKUHP tentang pidana mati di DPR dimana menunjukkan bahwa nyawa justru dianggap “enteng”. Demikian pula soal pengaturan alternatif dalam RKUHP yang menyatakan bisa mengganti hukuman mati setelah 10 tahun menjalani hukuman penjara, menurut Ricky hal ini cukup menarik. Ia mempertanyakan apa dasar digunakannya angka 10 tahun.
Tanggapan juga diberikan oleh Erasmus yang merupakan Peneliti ICJR yang memberikan beberapa catatan mengenai cost benefit analysis: Ia mempertanyakan mengenai proses penyusunan KUHP, sebelum di bahas di DPR, pemerintah lah yang membahas dan menyusun Rancangan KUHP. Lantas mengapa pemerintah memasukkan hukuman mati? Bagaimana proses penentuan hukuman mati terjadi di pemerintah, apakah terdapat analisis dari sudut pandang cost and benefit? Erasmus berpendapat bahwa sejauh ini belum pernah ada penelitian yang mengatakan bahwa ada keuntungan dari penerapan dan perumusan pidana mati. Menurutnya terdapat satu penelitian di Amerika, tetapi hal tersebut dalam konteks deterrence effect, tetapi sangat kecil sekali pengaruhya. Dan tidak bisa dijadikan evidence bahwa hukuman mati menimbulkan efek jera. Bagaimana prosesnya dalam pemerintah sampai akhirnya hukuman mati dipilih? Ia juga mempertanyakan dasar dicantumkan pidana mati dalam UU Pengadilan HAM padahal secara jelas ICCPR menolak hukuman mati. Perlu diketahui juga apa dasar memasukan pidana mati dalam UU korupsi yang tidak ada hubungannya dengan most serious crime. Terakhir untuk narkotika, Erasmus berpendapat bahwa dalam kejahatan yang sifatnya administratif tidak tepat untuk memasukkan hukuman mati didalam rumusannya.
Vidya Akademisi dari Universitas Bina Nusantara juga memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa perlu ada parameter mengenai tindak pidana mana yang dapat dijatuhkan hukuman mati. Misalnya didalilkan dengan extra ordinary crime, maka perlu dibatasi sebatas mana extra ordinary crime tersebut. Seperti dalam pengesahan Perppu kebiri apa dasar bukti perlunya kebijakan tersebut diberlakukan, lantas jika memang diatur hukuman mati, apakah hakim mampu secara komprehensif melihat kekhasan kasus-kasus yang dapat dijatuhi hukuman mati? Mengenai alternatif setelah menjalani pidana 10 tahun Vidya mempertanyakan siapa yang akan memutuskan hal tersebut, karena tidak dijelaskan dalam rumusan R KUHP. Pendapat lainnya datang dari Hafiz yang merupakan perwakilan dari HRWG membahas mengenai hukuman mati dari hukum islam, bahwa menurutnya bagaimanapun hukuman mati dalam konteks masa sekarang tidak dapat dilaksanakan, jika konsisten dengan hukum islam. Tidak dapat serta merta dikatakan jika saya menentang hukuman mati maka saya akan menjadi kafir. Diskusi terkait hukum islam mengenai hukuman mati tidak pernah dilakukan secara serius.