Lembaga Praperadilan pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak dilahirkannya KUHAP. Menurut M. Yahya Harahap, tujuan Praperadilan adalah upaya ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang – undang. Upaya paksa (dwang meddelen) dalam hal ini adalah baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun pemeriksaan surat-surat yang dilakukan Penyidik ataupun Penuntut Umum. Upaya kontrol (pengawasan) tersebut dilakukan dalam rangka penegakkan hukum (law enforcement), sehingga tercipta kepastian hukum yang adil.
Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi”. Akan tetapi meskipun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (UU No. 18 tahun 1981) namaun dalam aplikasinya masih terdapat kelemahan-kelamahan baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di Pengadilan sehingga masih minimnya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi Tersangka.
Lembaga Praperadilan (Pengadilan Negeri) yang berwenang melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa, ternyata tidak semua tindakan upaya paksa dapat dikontrol, Pasal 77 KUHAP membatasi kewenangan Pengadilan hanya terbatas pada pengujian sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; serta permohonan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi Tersangka yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sedangkan untuk tindakan penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak dijelaskan dalam KUHAP, siapa yang berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran dalam tindakan tersebut.
Selain itu mengenai kewenangan Praperadilan yang ternyata bersifat pasif, karena Praperadilan tidak dapat menjalankan kewenangannya selama tidak ada permintaan Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka untuk dilakukan pengujian. Sehingga apabila permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau penahanan menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku, maka sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.
Kelemahan lain dalam ketentuan KUHAP adalah KUHAP hanya menentukan batas waktu penentuan hari sidang dan lama pemeriksaan persidangan. KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu dimulainya sidang (sidang pertama) praperadilan sejak permintaan pengujian praperadilan didaftarkan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahap administrasi pengadilan sebelum sidang demikian bertolak belakang dengan semangat pemeriksaa praperadilan yang dilakukan secara cepat. Dalam praktek pemeriksaan praperadilan, hakim juga lebih banyak memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), tetapi sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya, seperti adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim, karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki materi pemeriksaan perkara.
Oleh karena dalam prakteknya lembaga Praperadilan belum berjalan sebagaimana mestinya dan masih banyak kelemahan, maka kemudian dalam Rancangan KUHAP ditentukan lembaga baru untuk menggantikan lembaga Praperadilan saat ini yaitu lembaga Hakim Komisaris. Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara Penyidik dan Penuntut Umum disatu pihak dan Hakim dilain pihak. Wewenang Hakim Komisari dalam Rancangan KUHAP lebih luas dibandingkan lembaga Praperadilan. Akan tetapi timbul pertanyaan lain, Apakah keberadaan lembaga Hakim Komisaris kelak akan lebih baik daripada lembaga Praperadilan yang telah ada saat ini? Dan Apakah akan membawa perubahan dan pengaruh yang cukup besar pada praktek pengadilan?
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka ICJR berinisiatif untuk mengadakan diskusi online (#diktum) dengan tema “Melihat Kembali Posisi Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” dengan mengundang Koordinator PILNet Indonesia sebagai narasumber terpilih Wahyu Wagiman, SH