Praktik-praktik penyiksaan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih terus ditemukan baik dalam bentuk tindakan kekerasan maupun tindakan tidak manusiawi lainnya yang dialami oleh tersangka atau orang yang diduga melakukan kejahatan. Tidak hanya itu, fenomena deret tunggu eksekusi pidana mati yang panjang dan tak pasti juga menyebabkan terpidana mati menjadi korban penyiksaan.
Setiap tanggal 26 Juni diperingati sebagai International Day in Support of Victims of Torture, atau hari internasional untuk mendukung korban penyiksaan. Peringatan hari ini oleh ICJR selalu dijadikan momen untuk terus menyuarakan perlawanan terhadap praktik-praktik penyiksaan maupun perlakuan merendahkan dan tidak manusiawi lainnya yang masih sering terjadi dalam sistem peradilan pidana.
Konstitusi Negara UUD 1945 melalui Pasal 28G ayat (2) menjamin bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga dinyatakan bahwa hak untuk tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Secara aturan, pengakuan atas larangan penyiksaan ini bahkan tercantum sampai level peraturan Kapolri. Namun, adanya jaminan hukum di atas kertas tersebut pada kenyataannya belum mampu menghentikan laju praktik-praktik penyiksaan, terlebih dalam proses pencarian keadilan.
Penelitian ICJR pada 2019 yang berjudul Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia secara khusus juga mengulas temuan dugaan penyiksaan dalam kasus-kasus hukuman mati. Dari total 306 putusan pengadilan yang diteliti, ICJR menemukan 23 klaim penyiksaan baik yang diajukan oleh terdakwa maupun saksi di persidangan. Namun hanya 10 klaim, yang terdiri dari 7 klaim terdakwa dan 3 klaim saksi akhirnya diperiksa atau dipertimbangkan oleh hakim.
Bentuk-bentuk penyiksaan yang berupa tekanan psikis hingga kekerasan fisik yang berat seringnya dialami terdakwa maupun saksi saat pemeriksaan di tingkat penyidikan, yakni ketika mereka dimintai keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang prosesnya tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Dalam hal ini penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan yang sesuai dengan keinginan oknum penyidik. Pada tahap ini lah rekayasa kasus kemudian dapat terjadi.
Berdasarkan hasil riset ICJR tersebut, dari total 10 klaim penyiksaan yang diperiksa, tidak ada klaim penyiksaan yang dinyatakan terbukti dan malah terdapat 4 klaim penyiksaan yang ditolak atau dinyatakan tidak terbukti. Temuan menandakan bagaimana proses pemeriksaan dugaan penyiksaan masih sangat bermasalah.
Pengusutan dugaan penyiksaan dalam persidangan memang menjadi masalah tersendiri karena tidak adanya prosedur dalam undang-undang yang mengatur secara jelas mengenai mekanisme pemeriksaan dan pembuktiaannya. Praktik yang selama ini terjadi adalah hakim hanya akan sekedar memanggil penyidik yang menuliskan BAP tersangka atau saksi tersebut untuk secara formalitas didengar keterangannya dalam persidangan. Saksi penyidik atau yang biasa disebut dengan saksi verbalisan tersebut tentu saja mustahil akan mengakui dirinya pernah melakukan penekanan psikis lebih-lebih tindakan kekerasan. Selain itu, oknum yang melakukan penyiksaan kerap kali tidak menunjukkan identitas diri ataupun menggunakan perlengkapan tugas (seragam, kartu tanda pengenal) sehingga tidak dapat dikenali dengan jelas. Hal ini juga menyulitkan pembuktikan di persidangan karena belum tentu saksi verbalisan yang dihadirkan tersebut merupakan oknum yang dimaksud.
Lalu dalam banyak kasus, hakim juga bergantung terlampau berat pada apa yang tertulis dalam BAP sebagai bahan rujukan pembuktian dalam persidangan. Apabila terdakwa atau saksi mencabut keterangannya dalam BAP yang diperoleh melalui penyiksaan, namun saksi verbalisan mengelak klaim penyiksaan tersebut, maka hakim akan tetap merujuk pada keterangan yang tertulis di BAP. Tidak sering, bahkan hakim dalam pertimbangannya juga malah memandang sikap terdakwa yang mengingkari keterangan yang ditulis di BAP tersebut sebagai penunjuk bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah, bukan memeriksa kembali secara seksama.
Bahkan dalam beberapa kasus, kendati bukti resmi dugaan penyiksaan telah diajukan namun hal tersebut juga tidak benar-benar dipertimbangkan secara serius. Dalam kasus Christian dan Lim Jit Wee misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sempat mengeluarkan Surat Rekomendasi yang menyatakan bahwa Christian merupakan korban salah tangkap dan Lim Jit Wee merupakan korban kekerasan dari oknum penyidik yang berakibat pada cacat fisik permanen. Namun bukti yang diajukan sebagai alasan permohonan peninjauan kembali tersebut sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim.
Konsekuensi terhadap bukti yang diperoleh dari praktik penyiksaan juga belum diatur dengan tegas dalam hukum acara pidana. Ketentuan dalam KUHAP belum secara eksplisit mengatur prinsip exclusionary rules yang memerintahkan hakim untuk mengesampingkan alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, termasuk salah satunya berupa keterangan saksi atau terdakwa yang diambil melalui penyiksaan.
Masalah mekanisme pembuktian dugaan penyiksaan yang tidak jelas hingga lemahnya akuntabilitas dan pengawasan menjadikan praktik-praktik penyiksaan dalam proses peradilan menjadi sangat sulit dihilangkan. Lalu, pembuktian dalam persidangan yang terlampau bergantung pada pengakuan juga menjadi faktor pendorong yang melanggengkan praktik penyiksaan dalam sistem peradilan pidana.
Rekomendasi
Pertama, segera memulai proses revisi KUHAP. RKUHAP harus menjamin mekanisme uji sahih bukti dan mengesamping bukti yang didapat dari penyiksaan. Termasuk penekanan, hakim harus mengambil keputusan berdasarkan fakta di persidangan bukan BAP;
Kedua, mengubah kerangka regulasi untuk memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa, khususnya hak untuk mendapatkan pendampingan hukum yang efektif, serta untuk mengakomodir prosedur pembuktian terhadap dugaan penyiksaan dalam sistem peradilan pidana, termasuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikutinya (mekanisme pertanggungjawaban pelaku, kewajiban mengesampingkan alat bukti, dan pemberian kompensasi untuk korban);
Ketiga, Pemerintah harus segera meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment – OPCAT), Pemerintah juga harus memastikan praktik penahanan di tempat-tempat penyidikan harus segera diakhiri;
keempat, memperkuat sistem pengawasan utamanya dalam proses penyidikan dan penuntutan, setiap pengambilan keterangan harus dapat dibuktikan dilakukan dalam kondisi yang tidak melanggar hak atas penyiksaan;
Kelima, membentuk tim khusus untuk meninjau kasus-kasus yang tersangkanya diduga pernah mengalami penyiksaan dalam proses pemeriksaannya, agar korban penyiksaan tersebut dapat memperoleh kompensasi yang layak dan fair trial dapat diterapkan;
Fenomena Deret Tunggu: Realita Penyiksaan Baru
Kemudian, isu lainnya yang juga sangat relevan untuk disoroti dalam peringatan hari dukungan terhadap korban penyiksaan adalah mengenai fenomena deret tunggu eksekusi pidana mati. Upaya untuk mencegah terjadinya fenomena deret tunggu yang dialami oleh terpidana mati juga menjadi salah satu langkah penting dalam memerangi praktik-praktik penyiksaan.
Dalam putusan pengadilan maupun laporan resmi lembaga internasional telah dinyatakan bahwa lamanya waktu deret tunggu eksekusi mati yang tidak menentu dengan kondisi-kondisi tempat penahanan yang buruk dapat dikategorikan sebagai bagian dari penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi yang merupakan bagian dari penyiksaan. Hal ini kemudian menyebabkan munculnya situasi fenomena deret tunggu yang berarti situasi-situasi buruk ketika terpidana mati mengalami tekanan mental atau stres yang hebat karena menunggu waktu eksekusi yang panjang dan tak pasti di tempat-tempat penahanan dengan kondisi yang tidak layak.
Beberapa Pelapor Khusus PBB juga pernah tercatat dalam laporannya memberikan pandangan secara khusus terkait praktik penyiksaan dalam bentuk fenomena deret tunggu. Juan E. Mendez (Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat periode 2010-2016) sempat menyatakan bahwa, “Diam lama dalam deret tunggu eksekusi mati, bersama dengan kondisi-kondisi (buruk) yang menyertainya, merupakan pelanggaran terhadap larangan penyiksaan itu sendiri”. Kemudian Philip Alston (Pelapor Khusus PBB untuk Hukuman Ekstra Yudisial dan Sewenang-Wenang periode 2004-2010) juga pernah menegaskan bahwa, “Jika eksekusi mati tidak pernah dilaksanakan, kemungkinan bahwa eksekusi itu dapat mengancam terdakwa selama bertahun-tahun sampai dibatalkan atau dikomutasi merupakan bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat”.
Situasi di Indonesia sendiri dapat memperlihatkan bahwa terdapat setidaknya 60 terpidana mati yang saat ini berpotensi tinggi mengalami penyiksaan akibat adanya fenomena deret tunggu. Seluruh terpidana mati tersebut telah menunggu eksekusi dalam waktu yang cukup lama yakni lebih dari 10 tahun dengan kondisi tempat penahanan yang buruk. Terdapat 5 orang di antaranya yang telah menunggu lebih dari 20 tahun dan bahkan seorang di antaranya juga telah menunggu hampir 40 tahun.
Kemudian kondisi tempat penahanan yang tidak layak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Terpidana mati ditempatkan dalam sel dengan tingkat kecerahan yang rendah; (2) Penggunaan alat pengekangan yang berlebihan dan waktu minim untuk terpidana mati melakukan kegiatan di luar sel; (3) Kondisi lapas yang overcrowding atau kelebihan muatan mempengaruhi tingkat stress; (4) Adanya diskriminasi dan perundungan; (5) Perlakuan kejam dan kekerasan yang tidak proporsional; (6) Kurangnya nutrisi dalam makanan; (7) Tidak adanya pemeriksaan medis berkala; (8) Terbatasnya waktu kunjungan keluarga atau jam besuk; (9) Akses terbatas terhadap buku atau bacaan; dan (10) Jumlah ahli psikolog bagi terpidana mati di dalam deret tunggu sangat minim.
Rekomendasi
Langkah-langkah pencegahan hingga penindakan perlu disusun untuk menghentikan secara efektif praktik-praktik penyiksaan yang masih terus terjadi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Untuk itu, ICJR memberikan beberapa poin-poin rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia sebagai berikut.
Pertama, maka perlu ditegaskan, percepatan eksekusi mati tidak berarti solusi untuk tidak terjadinya fenomena deret tunggu.
Kedua, dalam kondisi tetap mengimplementasikan hukuman mati, maka negara wajib menjamin para terpidana mati terhindar dari fenomena deret tunggu terkait antrian eksekusi dalam situasi yang buruk dan tidak manusiawi baik secara waktu tunggu, tempat penahanan, perawatan, kesehatan fisik dan mental, dan sistem yang tidak membuka peluang didapatnya komutasi pidana mati menjadi pidana jenis lain.
Ketiga, apabila kondisi di atas belum terpenuhi, maka untuk menghindari adanya fenomena deret tunggu, pemerintah dan sistem peradilan pidana wajib melakukan moratorium eksekusi mati, termasuk moratorium penuntutan dan penjatuhan pidana mati.
Keempat, RKUHP mengatur mengenai komutasi bagi mereka yang sudah lebih dari 10 tahun di deret tunggu. Oleh pemerintah, perumusan tersebut diklaim sebagai kebijakan “jalan tengah” polemik pidana mati. Jika Pemerintah benar berkomitmen pada politik hukumnya lewat rumusan RKUHP, maka komutasi bagi terpidana mati yang sudah di deret tunggu lebih dari 10 tahun harus diberikan.
Kelima, Pemerintah atau Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan (National Prevention Mechanism) yang saat ini telah ada, wajib melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap kondisi terpidana mati termasuk tempat-tempat penahanan. Hasil evaluasi dan pemantauan ini harus menjadi bagian dari proses perwujudan komitmen pemerintah terkait kebijakan “jalan tengah” polemik pidana mati di Indonesia.