Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mungkin satu-satunya Undang-Undang yang memiliki perdebatan panjang dalam proses pembentukannya. Jika dilihat dari awal,maka ide gagasan usaha pembaruan hukum nasional telah digaungkan pada Seminar Hukum Hasional padatahun 1963. Salah satu isu penting dalam pembaruan KUHP nasional adalah mengenai kodifikasi. Semangat rekodifikasi ini setidaknya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: dekolonisasi, harmonisasi, dan demokratisasi hukum pidana. Dengan berlandaskan pada ketiga prinsip tersebut, maka segala bentuk aturan pidana akan disatukan dalam satu buku khusus hukum pidana, yaitu KUHP.Menggunakan model kodifikasi dalam RKUHP tentu akan memberikan pengaruh bagi: (i) Undang-Undang sektoral yang memuat ketentuan pidana yang bersifat umum (generic crime) di luar KUHP; (ii) pemetaan ulang tindak pidana administratif (administrative crime); (iii) aturan tindak pidana dalam Peraturan Daerah (Perda); (iv) hukum yang hidup di masyarakat (hukum pidana adat); dan (v) sejumlah instrumen hukum internasional yang [mungkin] berlaku bagi Indonesia pasca terbentuknya KUHP baru.
Persoalannya, peraturan peraturan pidana yang saat ini berada diluar KUHP memiliki peranan sentral dalam perkembangan hukum pidana Indonesia dewasa ini, namun model kodifikasi total yang dianut dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mengharuskan semua ketentuan pidana di luar KUHP dimasukkan dalam RKUHP. Konsep kodifikasi tersebut berupaya untuk mencegah munculnya pengaturan asas-asas hukum pidana baru dalam undang-undang di luar KUHP terutama yang tidak terintegrasi dalam Ketentuan Umum dalam Buku I KUHP; dan mencegah kriminalisasi yang terbentuk dalam undang-undang di luar KUHP, baik bersifat umum maupun khusus yang menyebabkan terjadinya duplikasi dan triplikasi norma hukum pidana.
Dalam konsep RKUHP tahun 2015, model kodifikasi yang dianut tampaknya telah membuka peluang masih diakuinya pengaturan tindak pidanayang berada di luar KUHP sesuai dengan Pasal 218 yang menyatakan, “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang‑undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang.”
Aliansi Nasional Reformasi KUHP memprediksi bahwa model kodifikasi ini akan memicu timbulnya dilema.Di satu sisi, RKUHP 2015 membuka peluang pengaturan hukum pidana di luar KUHP, namun di sisi sebaliknya beberapa tindak pidana yang telah di atur di luar KUHP dipaksakan masuk dengan adopsi yang tidak sempurna. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakjelasan, serta konflik antara RKUHP daninstrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut.
Karena itu pemerintah dan (khususnya) DPR perlu untuk melakukan kajian yang mendalam terhadap dampak yang akan timbul dengan penggunaan model kodifikasi total terhadap aturan-aturan pidana di Indonesia. Utamanya jika akhirnya RKUHP resmi disahkan menjadi KUHP baru. Tanpa adanya kajian mendalam tersebut, RKUHP yang nantinya diharapkan menjadi KUHP baru justru tidak akan memiliki posisi yang berbeda dengan KUHP yang saat ini berlaku.
Tulisan ini, akan memaparkan apa yang menjadi persoalan fundamental dalam RKUHP yang rencananya akan menggantikan KUHP tersebut, yakni sistem kodifikasi RKUHP. Kodifikasi dianggap fundamental karena hal ini dilatarbelakangi pada situasi yang dianggap sebagai kekacauan hukum pidana nasional dengan lahirnya berbagai ketentuan pidana yang diatur diluar KUHP yang memilki pertentangan dengan prinsip dan azas yang diatur dalam KUHP.
Tantangan serta implikasi pemilihan pengkodifikasian RKUHP akan menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini sehingga akan dipahami sejauh mana arah tujuan pembentukan RKUHP dengan perumusan pasal-pasal yang diatur dalam RKUHP.
Unduh Disini