Indonesia Tidak Punya Arah Kebijakan Kriminalisasi Yang Jelas
Hukum pidana selama bertahun-tahun di Indonesia dianggap sebagai alat paling efektif untuk mengontrol perilaku masyarakat, Di Indonesia, diluar KUHP saja, sampai 2014, ada sekitar 443 jenis kejahatan baru dengan ancaman maksimum hukuman penjara lebih dari lima tahun. Dengan ancaman diatas 5 tahun tersebut, maka aparat penegak hukum dengan leluasa dapat menggunakan kewenangan upaya paksa untuk mengekang kebebasan warga negara.
Pola pemerintah menabur ancaman pidana dalam produk-produk legislasi menunjukkan bahwa ada semangat untuk dapat mengontrol masyarakat secara efektif. Persoalannya, pemerintah nampak tidak memiliki pola dalam menjatuhkan pidana. Berdasarkan Penelitian tahun 2015 dari Univeristas Leiden yang dilakukan oleh Anugerah Rizki Akbari, dari 1.601 tindak pidana yang ditemukan dalam perundang-undangan Indonesia dari 1998-2014, 885 di antaranya merupakan tindak pidana yang telah ada sebelumnya sedangkan 716 sisanya merupakan tindak pidana baru yang ditemukan di 112 undang-undang.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Aliansi KUHP) menilai bahwa ketiadaan pola pemidanaan, pengulangan dan naiknya ancaman pidana menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar yang kuat dalam merumuskan suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana, atau lebih sederhana, apakah perlu mencantumkan pidana dalam suatu undang-undang. Dalam beberapa praktik, pengaturan seperti ini kemudian nyata-nyata menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Meskipun saat ini RKUHP tengah dibahas di DPR, yang pengaturan tindak pidananya juga tidak kalah bermasalah, pemerintah dan DPR masih saja mengajukan RUU lain yang memuat delik pidana, seakan-akan tidak mengindahkan konsep kodifikasi.
Sebagai contoh, KUHP pada dasarnya telah mengatur tentang pidana penghinaan, namun pidana ini diatur begitu sering dalam berbagai undang – undang, yang paling menjadi sorotan, pasal 27 ayat (3) UU ITE. Bedanya, dalam KUHP ancaman tertinggi untuk pidana penghinaan adalah empat tahun, sedangkan dalam UU ITE bisa mencapai 6 tahun, alasannya sederhana, agar dalam hal penghinaan dilakukan di dunia maya, polisi dapat melakukan penahanan.
Saat ini, bahkan pola pemidanaan yang tidak jelas terlihat dari pengaturan beberapa RUU, yang paling menyita perhatian, misalnya RUU Contemp of Court (RUU CoC) dan RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). RUU CoC menjadi sangat mengerikan karena meskipun pada dasarnya sudah diatur dalam KUHP saat ini, penambahan pidana baru yang diperkenalkan sangat bersifat eksesif dengan ancaman pidana tinggi, seperti Pasal 24 RUU CoC yang memuat ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000.00,- (satu milyar rupiah), untuk orang yang mempublikasikan atau memperkenankan untuk dipublikasikan proses persidangan yang sedang berlangsung, atau perkara yang dalam tahap upaya hukum, yang bertendensi dapat mempengaruhi kemerdekaan atau sifat tidak memihak hakim.
Lain lagi dengan RUU Minol, pengaturan unsur yang buruk dibarengi dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, tedapat 10 tindak pidana baru yang diusulkan pemerintah dalam Pasal 5, 6, 7 dan 18, yang mencakup tindak pidana memproduksi, menyimpan, mengedarkan, menjual, meminum, mengganggu ketertiban umum terkait minuman beralkohol, dengan ancaman 2 sd 10 tahun penjara. Praktis, RUU ini memiliki tingkat “keseriusan” yang sama dengan tindak pidana narkotika.
Pola acak pengaturan pidana ini menunjukkan bahwa ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan, diantaranya :
Pertama, Pemerintah sama sekali tidak memilik pola dalam menuntukan suatu perbuatan adalah tindak pidana atau sebarapa penting kriminalisasi perbuatan tersebut dalam peraturan perundang-undangan, pola acak dan persebaran dengan tingkat ancaman pidana yang berbeda-beda memperkuat duigaan ini, termasuk berat ringan, tingkat “keseriusan, rumusan, pengulangan tindak pengaturan dan lain sebagainya.
Kedua, Aliansi KUHP meyakini Pemerintah dan DPR tidak memiliki riset mendalam mengenai cost – benefit analysis atas kriminalisasi perbuatan pidana atau ancaman pidana. Selama ini tidak ditemukan dalam naskah akasemik RUU manapun, termasuk RUU KUHP, terkait mengenai cost – benefit analysis atas suatu kriminalisasi pidana, sehingga dampak ke depan atas kriminalisasi tersbut tidak pernah dapat diantisipasi.
Ketiga, DPR dan Pemerintah seakan memunggungi konsep kodifikasi yang saat ini justru digadang-gadang menjadi fokus utama dari DPR dan Pemerintah. Di satu sisi Komisi III memfokuskan diri hanya pada pembahasan RKUHP, namun disisi lain dorongan atas RUU yang mengatur tindak pidana sendiri juga bermunculan, seperti RUU ITE, RUU Minol, RUU CoC dan lain sebagainya.
Keempat, keseriusan DPR dan Pemerintah dalam membahas RUU ini juga harus diperhatikan, khususnya RUU KUHP, dari catatan Aliansi KUHP, rapat-rapat Panja KUHP menyisakan banyak kursi kosong anggota DPR. Dari pengamatan Aliansi KUHP, setiap rapat tidak lebih dari 10 anggota panja yang hadir. Keseriusan ini menjadi penting untuk memastikan bahwa produk legislasi yang dihasilkan memang berkualitas dan tidak berpotensi malah mengekang hak asasi manusia secara tidak proporsional.
Banyaknya aturan pidana yang diciptakan oleh Negara akan berakibat pada tingginya angka penghukuman dan memperbesar kemungkinan untuk menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat, ditambah apabila negara tidak memiliki arah pengaturan yang tepat, bagaimana suatu perbuatan dikriminalisasi, maka pelanggaran hak asasi manusia terbuka lebar.
Atas dasar itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam rangka perayaan hari hak asasi manusia menyerukan agar pemerintah dan DPR mulai melakukan pekerjaan besar dengan menentukan pola kriminalisasi dan pemidanaan di Indonesia. Untuk R KUHP dan RUU lain yang memuat pidana, baiknya pemerintah fokus dengan proses harmoniasasi dan sonkronisasi, lebih besar juga fokus pada proses kodifikasi yang saat ini sedang berjalan di DPR. Untuk itu Aliansi KUHP mendorong keseriusan pembahasan RKUHP di DPR, jangan sampai seperti telah disebutkan sebelumnya, banyaknya ancaman pidana yang ditabur oleh negara, mengakibatkan negara juga menuai bentuk-bentuk baru dan melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.