Kasus Wisni Bukti Buruknya Kinerja Jaksa, Ketidakmampuan mengurai dan menjabarkan unsur pidana sampai menghadirkan alat bukti yang ilegal dan tidak sah.
Hari ini Wisni akan menjalani sidang pembacaan pledoi oleh kuasa hukumnya. Wisni yang didakwa dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE karena dianggap melakukan percakapan asusila melalui fasilitas percakapan (inbox) di akun facebooknya, sebelumnya dituntut pidana 4 bulan penjara dan denda 10 juta rupiah oleh Jaksa di PN Bandung. Koalisi Internet Tanpa Ancaman (KITA), menilai ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam kasus Wisni.
Sejak awal persidangan, KITA melihat beberapa kejanggalan dalam sidang Wisni, kejanggalan ini harus menjadi catatan serius kedepan.
Pertama, KITA menilai bahwa bukti chat Wisni yang diklaim diambil dari Inbox facebooknya merupakan bukti ilegal atau tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan pembuktian sama sekali. Hal ini dapat dilihat dari fakta persidangan berdasarkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan Forensik dari Bareskrim Polri Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus No. 47-III-2014-Cyber tanggal 10 Maret 2014, bahwa bukti yang telah di print out tidak ditemukan dalam inbox facebook Wisni.
Selain itu, perolehan bukti juga terindikasi terjadi pelanggaran pidana karena bukti chat diambil oleh suami Wisni (yang juga merupakan pelapor) secara tanpa hak dan melawan hukum dari sistem elektronik pribadi miliki Wisni. Terlebih lagi, Bukti berupa print out seharusnya tidak bisa digunakan dalam persidangan ini, karena hasil print out bukanlah bukti yang dapat divalidasi kebenarannya berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Kedua, Keputusan Jaksa untuk mendakwa dan menuntut dengan pasal tunggal yaitu Pasal 27 ayat (1) UU ITE menunjukkan ketidakmampuan Jaksa dalam memahami unsur dalam pasal yang diuntutnya. Konstruksi Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan delik kesusilaan dalam Pasal 281 dan 282 KUHP, artinya perbuatan tersebut baru dapat dipidana apabila dilakukan dengan sengaja dan terbuka di muka umum atau tersebar secara publik, hal mana perbuatan tersebut sama sekali tidak dijabarkan dalam dakwaan bahkan pembuktian oleh Jaksa.
Ketiga, kinerja Jaksa yang tidak profesional dan terkesan tidak siap untuk melakukan pembuktian ini harus menjadi perhatian serius oleh Kejaksaan Agung dan lembaga pengawasan terkait. Kasus Wisni bisa menjadi contoh betapa buruknya kinerja dan profesionalisme Jaksa, terutama dalam hal penjabaran rumusan pidana serta pengajuan alat bukti dalam ruang sidang.
Atas dasar tersebut, KITA meminta agar
Pertama Pengadilan Negeri Bandung menolak bukti terkait percakapan Wisni di Facebook karena tidak memenuhi syarat pembuktian sebagaimana diatur dalam hukum Acara; dan
Kedua, terhadap Jaksa dalam kasus Wisni, agar dilakukan pengawasan langsung oleh Kejaksaan Agung dan lembaga pengawas terkait seperti Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, dan Ombudsman.