Jakarta – Kanwil Hukum dan HAM DKI pernah menyampaikan bahwa hampir 3.000 napi tanpa surat yang sah. Putusan Pengadilan tak pernah masuk eskekusi. Ini kondisi yang memprihatinkan, sudah di upaya nyata sebagai wujud proteksi terhadap kondisi tersebut melalui kejaksaan dan kehakiman, akan tetapi tetap saja tak teratasi. Setelah ditelusuri ternyata ada penawaran dan permintaan di dalamnya. Kebiasaan menyimpan vonis sering dilakukan oleh bawahan,hal itu sengaja dilakukan agar hak narapidana tak muncul. Maka di situasi inilah munculnya permintaan dan penawaran. Sebenarnya penurunan kuantitas penghuni bisa diatasi dengan: Mengurangi masukan jaksa, hakim, dan polisi, dan mempercepat pembebasan, dan di Indonesia melalui remisi dan pembebasan bersyarat. Hal tersebut disampaikan oleh Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP., M.Si , dalam diskusi Advisory Board Meeting yang diselenggarakan oleh Institute for Criminal Justice Refom (ICJR) pada 14 Juni 2012 di Hotel Akmani Jakarta Pusat.
Dilihat dari segi sistimatika penulisan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh ICJR, Menurut Hasril Hartanto, S.H, M.H, sebagai salah satu Advisory Board Meeting mengemukakan beberapa hal terkait teknis penulisan agar disesuaikan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dr. Salman Luthan, S.H, M.H, yang juga duduk sebagai sebagai salah satu anggota Advisory Board Meeting, mengatakan perlu naskah penelitian ini perlu diperbaiki kembali agar hasil penelitian ini memberikan gambaran utuh mengenai praktik pra penahanan sebagai refleksi dari permasalahan. Ia menyatakan bahwa dari data yang ada tim peneliti tinggal menyesuaikan apa yang dimiliki dengan sistematika yang tepat, dan melakukan sinkronisasi antara data tersedia antara rumusan yang cocok dengan kesimpulan. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, jika menggunakan standar internasional HAM yang rujukannya mulai konvensi hak sipil politik sampai deklarasi sebagai acuan melihat apakah secara normatif, norma hukum penahanan di Indonesia sudah sejalan atau belum dengan standar HAM internasional.
Lebih pada substansi, Abdul Haris Semendawai, S.H, L.L.M, berpendapat bahwa dari masukan-masukan tersebut tergambar bahwa padatnya rutan disebabkan oleh faktor mudahnya orang ditahan. Untuk meminimalisir hal tersebut, Mahkamah Agung mencoba membuat suatu kebijakan dalam bentuk Perma yang bertujuan untuk menghidupkan kembali pasal KUHP yang dulu dianggap mati. Masalahnya, political will untuk tak menahan itu berhadapan dengan aparat di lapangan, aparat dengan mudah beralasan bahwa “jika tingkatnya Perma apakah bisa seperti peraturan perundang-undangan?” Kedua, kalau tak ditahan, masyarakat akan menghakimi, lebih baik ditahan supaya tak ada balas dendam.
Dalam penutupan Advisory Board Meeting tersebut, Syahrial M. Wiryawan, sebagai anggota Tim Peneliti, mengatakan bahwa Tim Peneliti akan bekerja keras untuk memperbaiki laporan sesuai masukan dari para Penasihat Program untuk penyempurnaan naskah penelitian tersebut