Misteri Pemberian Status JC : Kejaksaan Keluarkan 670 Status JC Dari 2013 Sampai Juli 2016
Dalam kutipan media terkait revisi PP 99 Tahun 2012, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia I Wayan Kusmiantha Dusak mengatakan pelaksanaan justice collaborator (JC) sebagai syarat remisi selama ini justru dimanfaatkan oknum penegak hukum yang tidak taat prosedur, sehingga status JC tidak jarang menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Dalam pandangan ICJR, hal ini perlu untuk ditelusuri. Untuk awal, maka perlu di cek seluruh terpidana korupsi setelah tahun 2012 (berdasarkan Permen) yang mendapatkan status dari aparat penegak hukum terutama Jaksa, Polisi dan KPK.
Status JC tidak boleh sembarangan diberikan, dan label JC juga dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan, di luar skema tersebut maka JC bisa jadi hanya untuk memfasilitasi remisi. Status JC juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi. Berdasarkan catatan ICJR, hal Ini mungkin terjadi karena SOP mengenai JC di kejaksaan juga tidak pernah dipersiapkan. Akibatnya dicurigai banyak implementasi yang berbeda-beda.
Dapat disorot, dari jumlah JC yang dikeluarkan oleh masing-masing Kepolisian, Kejaksaan dan KPK berdasarkan data Ditjen PAS yang dipersentasikan oleh Center for Detention Studies (CDS) pada Senin, 15 agustus 2016 di Jakarta, ditemukan bahwa Kejaksaan sebagai institusi yang paling “rajin” mengeluarkan status JC dengan jumlah mencapai 670 orang sepanjang 2013 sampai dengan Juli 2016, tepat setelah PP 99 Tahun 2012 mulai berlaku, berikut rinciannya :
Institusi yang mengeluarkan JC untuk Kasus Korupsi | 2013 | 2014 | 2015 | 2016
(Januari – Juli) |
Total |
Kepolisian | 1 | 7 | 2 | 7 | 17 |
Kejaksaan | 21 | 172 | 305 | 172 | 670 |
KPK | – | – | 1 | – | 1 |
Dari data tabel tersebut timbul pertanyaan, yaitu apakah seluruh status JC yang dikeluarkan oleh institusi penegak hukum ini diberikan pada saat proses penuntutan atau dengan kata lain apakah diberikan sebelum atau sesudah putusan. Yang menjadi catatan penting adalah apabila status JC baru diberikan setelah putusan dijatuhkan, maka angka ini adalah angka yang sangat mengejutkan, karena secara hukum di Indonesia, JC seharusnya diberikan sebelum putusan atau saat proses penuntutan di lakukan.
Logika ini sebenarnya logika yang sama yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012, dimana JC menjadi syarat remisi untuk memberikan insentif atau memberikan bergain kepada penyidik dan penuntut umum agar tersangka atau terdakwa mau bekerja sama dalam mengungkap kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat sistemik dan terorganisir. Apabila status JC diberikan pasca putusan atau proses penuntutan, maka apa guna JC diberikan selain untuk mendapatkan remisi? Dari sinilah harusnya dugaan adanya “permainan atau komoditas yang diperjualbelikan” dapat ditelusuri.
Untuk itu, ICJR meminta agar Kepolisian, Kejaksaan dan KPK mengeluarkan nama-nama siapa aja orang-orang yang mendapatkan status JC tersebut dan apakah status JC tersebut diberikan pada saat proses penuntutan atau sebelum putusan atau malah diberikan setelah putusan dikeluarkan dan dengan alasan apa. Dengan begitu maka misteri “jual beli status JC” dapat ditelusuri.
Artikel Terkait
- 03/05/2019 Perlakuan Tidak Manusiawi Petugas Lapas Harus Jadi Momentum Reformasi Kebijakan Pidana Lapas termasuk soal Reformasi Kebijakan Narkotika
- 25/02/2019 ICJR Kirimkan Amicus Curiae kepada Mahkamah Agung RI atas Perkara Peninjauan Kembali Atas Nama Pemohon Baiq Nuril Maknun
- 25/02/2019 Amicus Curiae: Jangan Korbankan Korban Kekerasan
- 27/11/2018 Pemerintah Harus Segera Hadirkan Regulasi untuk Pemberian Insentif Bagi Narapidana yang Kabur karena Bencana Alam
- 30/10/2018 Catatan dan Rekomendasi ICJR atas 9 RUU Terkait Kebijakan Pidana dalam Program Legislasi Nasional 2019
Related Articles
Tindakan Polisi Di Pulau Rempang Berlebihan, Stop Penggunaan Gas Air Mata dalam Pengendalian Massa dan Huru-Hara.
Setidaknya hingga kemarin, Kamis, 7 September 2023, aparat gabungan (TNI, Polri, Satpol PP dan Pengamanan BP Batam) masih terus merangsek
[Rilis Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan] Catatan terhadap Sosialisasi Pemerintah terkait Pengubahan Scheduling Cannabis dan Cannabis Resin
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan Berikan Catatan terhadap Sosialisasi Pemerintah terkait Pengubahan Scheduling Cannabis dan Cannabis Resin Pada 25 Juni
Rancangan KUHP: Berbau Kolonial, Minim Perlindungan Rakyat! Pengesahannya tidak boleh dipaksakan!
Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapresiasi waktu panjang dan banyak energi yang sudah diberikan Pemerintah dan DPR dalam menyusun dan membahas