Kewenangan pemberian ijin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan yang dimiliki oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK melalui revisi UU KPK pada 2019 akhirnya dicabut oleh MK. ICJR memandang langkah ini sudah tepat diambil oleh MK untuk mengklarifikasi kedudukan Dewan KPK yang tidak termasuk sebagai aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Namun langkah reformasi selanjutnya yang masih perlu dilakukan yakni memperbaiki sistem akuntabilitas untuk memperkuat pengawasan yudisial terhadap upaya paksa melalui revisi KUHAP.
Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 70/PUU-XVII/2019 mengabulkan sebagian permohonan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU KPK. Beberapa poin permohonan yang dikabulkan oleh MK antara lain mengenai pencabutan kewenangan Dewan Pengawas KPK untuk memberikan ijin penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan sebagaimana diatur dalam Pasal 12B, 37B ayat (1) huruf b, dan 47 ayat (2) UU 19/2019.
Menurut pertimbangan Majelis Hakim MK, kewenangan yang dimiliki Dewas KPK tersebut telah tumpang tindih dengan kewenangan dalam penegakan hukum (pro Justitia) yang seharusnya hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum. Dewas KPK sebagai lembaga ekstra yudisial tidak boleh diberi kewenangan-kewenangan yudisial/pro Justitia seperti yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya paksa yang beririsan dengan perampasan hak atau kemerdekaan orang/barang. Sebab kewenangan tersebut hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam sistem peradilan pidana.
Majelis Hakim MK lebih lanjut dalam putusannya juga menjelaskan bahwa kewenangan Dewas KPK terkait upaya paksa penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan hanya sebatas untuk fungsi pengawasan. Dalam konteks ini, penyidik KPK wajib mengirimkan pemberitahuan mengenai pelaksanaan upaya paksa yang dilakukannya tersebut kepada Dewas KPK hingga maksimal 14 hari sejak penyadapan dilakukan dan maksimal 14 hari sejak penggeledahan/penyitaan selesai dilakukan. Mekanisme ini menurut Majelis Hakim MK tetap diperlukan untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan upaya paksa tersebut.
Akan tetapi, sebagai bentuk pengawasan, tentu kaidah dalam putusan MK tersebut masih sangat jauh dari konsep ideal sistem akuntabilitas dalam sistem penegakan hukum pidana. Pengawasan terhadap upaya paksa seharusnya diletakkan pada lembaga pengadilan. Namun saat ini pengawasan yudisial melalui lembaga pengadilan terhadap upaya paksa masih belum efektif. Riset yang dilakukan ICJR pada 2014 mengenai lembaga praperadilan misalnya menemukan berbagai keterbatasan fungsi lembaga tersebut baik dari segi pengaturan dalam KUHAP maupun penerapannya sehingga akhirnya lebih banyak menguji persoalan-persoalan administratif daripada yang substansial. Lalu, dalam konteks penyadapan, KUHAP pun bahkan juga masih belum mengatur mengenai ijin penyadapan yang harus dimintakan ke pengadilan. Sehingga putusan MK yang merombak kewenangan Dewas KPK ini pun juga tidak menjawab persoalan krisis akuntabilitas terhadap upaya paksa yang saat ini dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia.
Oleh karenanya, ICJR mendorong agar DPR dan Pemerintah segera menginisiasi pembahasan revisi KUHAP. Dalam rancangan RKUHAP 2012, tim penyusun telah mencoba memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang memiliki kewenangan untuk memberikan ijin pelaksanaan upaya paksa mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, hingga penyadapan. Kehadiran lembaga HPP melalui revisi KUHAP ini akan mampu mengatasi sebagian persoalan krisis akuntabilitas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sedangkan pada bagian yang lain, masalah kewenangan aparat penegak hukum yang eksesif dalam pelaksanaan berbagai bentuk upaya paksa juga masih menjadi catatan tersendiri yang juga perlu diselesaikan melalui perubahan KUHAP.
Jakarta, 5 Mei 2021
Hormat Kami,
ICJR
CP: Iftitahsari, Peneliti ICJR