ICJR prihatin dengan adanya kekerasan terhadap guru, namun menilai permohonan pengujian Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di Mahkamah Konstitusi berpotensi menghilangkan perlindungan bagi anak terhadap kekerasan
Saat ini upaya pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi terkait perubahan pasal-pasal krusial dalam perlindungan anak di dalam lingkungan pendidikan telah di gelar di mahkamah konstitusi yang diajukan oleh Dasrul dan Hanna Novianti Purnama, Guru yang merupakan korban dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siswa dan oleh orang tua siswa.
Di dalam Permohonan pengujian Undang-Undang oleh Dasrul dan Hanna Novianti Purnama, dijelaskan bahwa Dasrul yang adalah guru Arsitek SMK Negeri 2 Makassar mengalami kekerasan dari orang tua siswa setelah Dasrul menegur siswa tersebut yang tidak mengerjakan tugas. Sedangkan Hanna Novianti Purnama adalah guru pembimbing di SMA Pusaka I Duren Sawit yang mengalami penganiayaan berupa pemukulan dan penjambakan oleh seroang siswa murid bimbingannya. Hanna Novianti Purnama juga mendapat ancaman untuk dilaporkan ke Polisi karena telah mempublikasi gambar kekerasan yang dialaminya ke Media Sosial.
Dalam permohonan pengujian Undang-undang yang telah dimulai sejak Januari lalu, dan telah memasuki tahap pemeriksaan ahli, pihak pemohon meminta perubahan atas:
Pasal 9 ayat 1a Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:“Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/ataupihak lain.” Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi agar mencabut frase “dan kekerasan” di dalam pasal ini selama kekerasan itu dilakukan untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan anak oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
Pasal 54 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:“Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik,tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” Pemohon meminta frase “wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis” untuk tidak dimaknai sebagai wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik-psikis, kecuali dilakukan untuk tujuan pembinaan atau tindakan mendisiplinkan anak oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
Serta, Pasal 39 ayat 3 Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: “Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.” Pemohon meminta frasa “Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.” untuk tidak dimaknai sebagai perlindungan hukum sebagaimana dimaksud ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, tuntutan pidana, dan/atau gugatan perdata, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
ICJR sebagai organisasi yang menolak secara tegas setiap bentuk bentuk penghukuman atas badan atau Corporal Punishment menilai bahwa Permohonan ini justru akan memutuskan rantai perlindungan anak atas praktek praktek kekerasan dalam wujud Corporal Punishment di dunia sekolah Indonesia.
Menurut ICJR, Anak berposisi paling rentan di dalam lingkungan masyarakat dan berhak untuk diberikan perlindungan absolut, dan karena itu pasal-pasal diatas yang merupakan pasal-pasal krusial bagi perlindungan anak terhadap kejahatan fisik dan psikis di lingkungan yang berpotensial terjadi kekerasan harusnya tidak dipermainkan.
ICJR melihat bahwa Indonesia telah mengambil langkah yang tepat dalam menjamin perlindungan Anak terhadap kekerasan di dalam disiplin sekolah lewat implementasi pasal 28 ayat 2 Konvensi Hak-hak Anak ke dalam perundang-undangan nasional. Perlindungan Anak merupakan pengakuan atas anak sebagai pemegang atas hak-nya sendiri, dan segala perbuatan yang dipaparkan di dalam kedua pasal berupa: kejahatan seksual, kekerasan, tindak kekerasan fisik dan psikis, dan kejahatan lainnya merupakan pelanggaran atas hak perlindungan yang dipegang oleh anak.
ICJR Mengingatkan bahwa di dalam Komentar Umum Komite Konvensi Hak-hak Anak No.1 tahun 2001 (CRC/GC/2001/1) tentang “The Aims of Education” yang juga dielaborasi lebih lanjut di dalam Komentar Umum Komite Konvensi Hak-hak Anak No.8 tahun 2006 (CRC/C/GC/8) tentang “The right of the child to protection from corporal punishment and other cruel or degrading forms of punishment”. Komite mengeluarkan pernyataan bahwa Corporal Punishment tidak kompatibel dengan Konvensi Hak-hak Anak.
Komite menggarisbawahkan di dalam Komentar Umum tersebut juga bahwa anak tidak hilang hak asasi manusianya ketika masuk ke dalam gerbang sekolah. Hak anak atas akses ke pendidikan harus disediakan tanpa menyampingkan martabat anak, tidak membatasi anak untuk secara bebas mengekspresikan pandangannya, dan tidak menghalangi anak untuk berpartisipasi di dalam aktivitas belajar-mengajar.
Oleh karena itu maka Pendidikan juga harus diberikan kepada anak dengan cara yang mematuhi batasan-batasan ketat di dalam disiplin pendidikan seperti yang dipaparkan di dalam pasal 28 ayat 2 Konvensi Hak-hak Anak yang menjamin bahwa “Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dalam cara yang sesuai dengan martabat manusia si anak dan sesuai dengan Konvensi ini. Dengan mengacu dari pasal ini maka perbuatan-perbuatan yang merupakan corporal punishment di dalam disiplin sekolah harus ditiadakan.
Corporal Punishment didefinisikan oleh Komite Konvensi Hak-hak Anak sebagai hukuman di mana kekuatan fisik digunakan dan dimaksudkan untuk menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan, meskipun ringan. Sebagian besar melibatkan pukulan (“memukul”, “menampar”, “memukul pantat”) anak-anak, dengan tangan atau dengan alat perantara berupa cambuk, tongkat, sabuk, sepatu, sendok kayu, dll. Dalam pandangan Komite, hukuman fisik selalu merendahkan martabat manusia.
ICJR dapat memahami akan keresahan yang dialami Pemohon Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Bahwa pemohon berhak untuk menyelesaikan masalah yang dialaminya lewat jalur hukum lewat melaporkan kekerasan yang dialami kepada pihak yang berwenang, sebagai guru, Para pemohohn jelas berhak atas perlindungan dari setiap tindakan kekerasan dan intimidasi.
Akan tetapi langkah-langkah untuk mengubah pasal-pasal perlindungan anak terhadap kekerasan adalah langkah yang tidak tepat. Anak-anak harus dilindungi dalam pasal-pasal yang diuji memiliki kedudukan khusus dikarenakan anak adalah kelompok rentan. Maka dari itu disediakan perlindungan-perlindungan khusus atas hak-hak asasi anak.
Oleh karena itu, ICJR menghimbau agar para hakim Mahkamah Konstitusi berhati-hati dalam memutuskan perkara Permohonan Pengujian Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Guru dan Dosen, sekali lagi, jangan sampai Judicial Review ini dimaknasi sebagai legitimasi corporal punishment pada anak.