“Pidana penjara mendominasi R KUHP, sedangkan hukuman pidana alternatif melemah. Implikasi atas hal ini maka kebijakan pemidanaan R KUHP Akan tetap membebani Pemerintah : overkapasitas masih akan menghantui Lapas, dan biaya bantuan hukum akan semakin tinggi ”
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) yang saat ini dalam pembahasan di DPR diklaim telah mengusung konsep pemidanaan baru yang lebih mengandalkan model alternatif pemenjaraan. Dalam konsep ini, diandaikan bahwa hakim diberikan kemungkinan untuk menjatuhkan jenis sanksi pidana yang lebih mendorong alternatif pidana kemerdekaan (alternative to imprisonment) dalam kerangka tujuan pemidanaan.
Oleh karena itu maka tak heran jika pemerintah selalu mengkampanyekan adanya alternatif jenis penghukuman hukuman baru, misalnya dalam bentuk, denda, ganti rugi dan kerja sosial dalam RKUHP. Bentuk-bentuk hukuman tersebut, diharapkan dapat mengurangi tekanan populasi (overkapasitas) yang saat ini terjadi di rumah-rumah tahanan (Rutan) dan lembaga-lembaga pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.
Namun dalam temuan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, terlihat bahwa alternatif pemenjaraan R KUHP belumlah memadai. Ini karena dalam R KUHP, jumlah perbuatan pidana yang diancam pidana penjara yang lama justru menduduki porsi terbesar, diikuti dengan pidana denda. Pola ini mengindikasikan penggunaan pidana penjara masih merupakan pilihan utama untuk mengontrol perbuatan pidana. Pidana adat dan pidana rehabilitasi adalah jenis ancaman pidana yang jumlahnya sangat sedikit ketimbang jenis pidana penjara.
Dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah berkeinginan untuk mengurangi tekanan di rutan dan lapas, maka upaya tersebut akan mendapat tantangan jika kita melihat pola dsitribusi ancaman pemidanaan yang dianut dalam R KUHP.
Anehnya justru R KUHP sendiri ternyata terlampau sedikit mengadopsi hukuman alternatif lain di luar pidana penjara. Dalam R KUHP ada ketentuan bahwa Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Ini merupakan ketentuan baru yang penting dalam R KUHP saat ini
Namun, Temuan ICJR dan Aliansi melihat hal yang aneh, karena bila di perhatikan lebih teliti, berdasarkan data distribusi. Terlihat bahwa jumlah tindak pidana yang dapat diberikan pidana kerja sosial ternyata berjumlah kecil sekali (hanya 59 tindak pidana). Dalam R KUHP jumlah tindak pidana yang masuk kategori ancaman denda kategori 1 saja hanya berjumlah 48 dan perbuatan yang diancam penjara maksimum 6 (enam) bulan hanya 11. Bandingkan dengan total ancaman pidana (seumur hidup, penjara, tutupan, pengawasan, denda, dan kerja sosial yang berjumlah sebanyak 2.711 tindak pidana.
Dengan sedikitnya pidana alternatif di luar pidana perampasan kemerdekaan, maka persoalan overkapasitas dari rutan dan lapas di Indonesia masih akan menghantui negara selama beberapa tahun ke depan. Implikasi dari temuan ini adalah alternatif pidana jenis ini agak sulit secara signifikan berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penghuni Lapas.
R KUHP juga terlihat menyukai pidana maksimum, terlihat mayoritas pidana diatas 5 tahun lebih mendominasi dalam R KUHP. Sedangkan jenis perbuatan kejahatan yang dianggap ringan justru sangat sedikit. jenis pidana sangat serius menempati posisi pertama dengan 621 ancaman pidana yang diikuti dengan kejahatan yang serius dengan 532 perbuatan. Pembobotan pemidanaan dalam bentuk ringan, serius, dan sangat serius pada dasarnya justru bertolak belakang dengan upaya pengembangan alternatif lain di luar pidana perampasan kemerdekaan. Karena pada akhirnya jumlah perbuatan yang diancam dengan pidana karena dianggap kejahatan serius dan sangat serius menjadi terlampau besar jumlahnya.
Bila di kaitkan dengan ketentuan KUHAP, maka hal ini akan menimbulkan implikasi terkait jumlah perbuatan pidana yang memerlukan penasihat hukum. Di R KUHP, ancaman pidana 5 tahun penjara menempati porsi yang cukup besar ketimbang dengan jumlah perbuatan pidana yang tidak memerlukan penasihat hukum (ancaman pidana di bawah 5 tahun). Gambaran ini menunjukkan potensi besarnya dampak ekonomi dan sosial negara untuk menyiapkan bantuan hukum yang bersifat probono kepada masyarakat
Karena itulah ICJR dan Aliansi Nasional mendorong agar DPR dan pemerintah perlu mengubah dan kembali distribusi ancaman pidana yang sesuai dengan realitas dan kebutuhan di Indonesia, sehingga penggunaan ancaman pidana penjara yang berlebihan dapat di tekan.