[Opini Peneliti ICJR]
Prof. Mardjono Reksodiputro dan Mengapa Saya Percaya Peradilan yang Adil adalah Kepentingan Kita
Oleh:
Maidina Rahmawati, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Jumat, 21 Mei 2021, pagi hari sekali saya mendengar kabar duka kepergian guru kita semua, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., Beliau adalah Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, juga pernah berperan sebagai Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (1996—2006), Sekretaris dan Ketua Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1990—2002) dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1984—1990).
Prof Mardjono, yang juga sering disapa Prof. Boy adalah seorang ahli hukum pidana yang jelas telah menorehkan sejarah pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia. Beliau banyak menuliskan pemikirannya tentang pembaruan sistem peradilan pidana, berani keras membahas tentang arti penting penghormatan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana.
Salah satu pemikirannya yang paling membuat saya tersadar pentingnya hak asasi manusia tergambar dalam tulisan beliau pada Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, yang merupakan bagian dari 4 buku kumpulan karangannya. Prof Boy dalam karangan ini menyatakan bahwa HAM — yang merupakan pengakuan hak-hak individu oleh negara tidaklah hanya dikenal dalam sejarah dan teori politik barat. HAM mempunyai latar belakang intercultural atau antar kebudayaan. Pemikiran Islam tentang hak-hak dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya bahkan telah mendahului pemikiran Barat yang menandakan bahasan HAM bersifat universal. Ajaran agama Budha, Hindu telah menujukkan aturan-aturan tentang hubungan antar manusia yang menghormati Hak Asasi Manusia setiap individu. Dengan dasar ini, maka penghormatan HAM adalah milik semua bangsa, semua kebudayaan dan semua diri dari kita.
Dalam pembahasan Prof. Boy, HAM melekat pada diri manusia, tanpa hak-hak tersebut kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia (inherent dignity) dan karena itu, hak-hak tersebut tidak dapat dicabut dan tidak boleh dilanggar.
Terkait sistem peradilan pidana, hak asasi manusia penting untuk dijamin, sekalipun untuk orang-orang yang dituduh dan disangka melakukan tindak pidana. Banyak orang yang kemudian berpendapat “mengapa harus membela orang bersalah?, kan dia melakukan kejahatan.” Pernyataan itu sekasat mata seolah benar, dan banyak menjadi pandangan masyarakat. Namun, dalam tulisan esai Prof Boy yang berjudul Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara, beliau memberikan penjelasan yang apik, mengapa bahasan soal hak asasi manusia tetap relevan sekalipun bicara soal orang melakukan tindak pidana, beliau menuliskan:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Meskipun seorang warga masyarakat telah melakukan tindak pidana, hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. Apalagi bilamana kita ingat bahwa yang dihadapi itu barulah seorang tersangka.”
“Kita pun harus ingat bahwa untuk diri kita, kita dapat mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan pelangaran hukum, tetapi bukankah kita tidak pernah dapat bebas dari risiko menjadi seorang “tersangka” atau kemudian pula. “terdakwa”? Disinilah letak pentingnya kita memperjuangkan tegaknya hak-hak tersangka/terdakwa untuk didengar, didampingi penasihat hukum, diberi hak mengajukan pembelaan, dibuktikan kesalahannya oleh penuntut umum dihadapkan pada pengadilan yang adil dan tidak berpihak.”
Pemikiran ini yang menohok saya, benar saja, mungkin sebagian dari kita bisa dengan mudah menyatakan “ya siapa suruh melakukan tindak pidana.” Kita lupa bahwa hukum pidana juga bagian dari proses politik yang memberikan kewenangan bagi negara untuk mendefensikan apa perbuatan yang dilarang dan diberikan pencelaan dengan label sebagai tindak pidana. Tak jarang proses tersebut pun tidak selaras dengan jaminan penghormatan HAM.
Ambil salah satu contoh kasus Baiq Nurul, siapa sangka perbuatannya merekam pelecehan seksual yang dilakukan kepadanya justru berujung pada proses hukum terhadap dirinya. Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang menjerat Baiq Nuril dirumuskan tidak sejalan dengan prinisip HAM, orientasi larangan perbuatan ada pada penyebaran konten melanggar kesusilaan, padahal perbuatan Baiq Nuril sebagai korban seharusnya dilindungi. Maka dengan ini, dapat dikatakan rumusan UU ITE belum cukup adil, nantinya ketidakadilan yang sama bisa dengan mudah menjerat kita walaupun merupakan seorang korban.
Sebagai pengingat, meskipun kita mengatakan UU ITE tidak adil dan bermasalah, namun faktanya proses hukum tetap dilanjutkan terhadap Baiq Nuril, menjadi tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana. Apakah Baiq Nuril serta merta layak disebut “jahat”?
Maka dalam prosesnya Baiq Nuril perlu didengar, didampingi penasihat hukum, diberi hak mengajukan pembelaan, untuk menyuarakan kepada publik bahwa sebenarnya ia adalah korban. Hal ini bisa dilakukan hanya apabila kita menghormati HAM dalam sistem peradilan pidana. Dengan jaminan ini saja pun, Baiq Nuril tetap dengan mudah diputus bersalah. Bagaimana jika tidak ada jaminan sama sekali?
Pemikiran Prof Boy menyadarkan kita semua, bahasan tentang pembaruan pidana bukan soal orang melakukan ataupun tidak melakukan tindak pidana, bukan soal orang jahat ataupun orang tidak jahat, tapi lebih dari itu. Pembentukan hukum pidana materil harus didasarkan pada penghormatan HAM, hukum harus dibuat untuk melindungi kemerdekaan individu, bukan menghilangkan martabatnya. Lalu dalam lapangan hukum formil harus dipastikan peradilan bagi tersangka-terdakwa didasarkan pada hak asasi manusia, orang yang dianggap melakukan tindak pidana tidak serta merta kehilangan martabatnya sebagai manusia.
Untuk kedua aspek ini, kita dan saya, yang belajar banyak dari Prof Boy punya “pekerjaan rumah” untuk mengawal pembaruan hukum pidana di Indonesia. Saat ini kita tengah mengawal pembahasan Rancangan KUHP yang akan mendasari hukum pidana di Indonesia, maka menjadi penting memastikan rumusan Rancangan KUHP didasarkan pada penghormatan individu, tidak ada kriminaliasi berbasis kebencian apalagi terhadap kelompok minoritas tertentu. Nantinya kita juga harus mengawal pembaruan hukum acara pidana, Rancangan KUHAP wajib hadir untuk memberikan rambu-rambu pada kewenangan aparat penegak hukum guna memberikan perlindungan tertinggi pada hak warga negara untuk mendapatkan peradilan yang adil, maka instrumen hak asasi manusia harus menjadi dasar perubahan Rancangan KUHAP kedepan.
Selamat Jalan, Prof Boy.
Terima kasih atas ilmu yang telah dibagikan, berisirahatlah dalam damai, semangat pembaruan peradilan pidana akan terus ada seiring dengan terus masyurnya gagasanmu.