Anak merupakan tunas bangsa, bagian dari generasi muda, yang memiliki peranan strategis sebagai sumber daya manusia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Oleh karenanya, Anak, dengan ciri-ciri dan sifat khususnya, harus mendapatkan pembinaan dan perlindungan yang baik agar pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial terjamin secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Dalam rezim Hak Asasi Manusia, anak termasuk kelompok rentan yang harus mendapat perlakuan dan perlindungan khusus. Sehingga dalam sistem peradilan, juga harus diterapkan sistem peradilan khusus pula.
Dalam ranah “dunia anak” ini, meskipun telah terdapat suatu pembaharuan dalam bidang hukum, yaitu dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun di Indonesia, masih banyak sistem, kebijakan, yang tidak bersahabat dengan karakteristik anak, sehingga berperan menyebabkan persoalan-persoalan yang menjadikan anak sebagai korban, dan berhadapan dengan hukum. Sehingga, perlindungan terhadap anak tidak terjamin dengan baik.
Menurut data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), anak-anak yang menjalani hukuman penjara atau tahanan tiap tahun berjumlah sekitar 6000 orang anak. Jumlah yang cukup mengkhawatirkan, mengingat karakteristik dan kekhususan yang dimiliki seorang anak, menuntut ia untuk tumbuh kembang di lingkungan yang ramah dan bersahabat, penuh kasih sayang dari orang-orang terdekat. Tentu tempat itu bukanlah dibalik terali besi.
ICJR menyambut baik dengan diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2012 yang memuat beberapa perubahan penting dari UU sebelumnya, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perubahan tersebut, di antaranya adalah penegasan tentang penggunaan sistem diversi dalam penyelesaian perkara anak. Diversi yaitu suatu proses pendekatan/penyelesaian perkara pidana anak dari proses formal menjadi non-formal. Disamping itu, UU ini juga menegaskan asas-asas penyelesaian perkara pidana anak, merinci hak-hak anak pelaku, dan mengupayakan secara efektif dalam member bimbingan dan binaan bagi anak setelah diputus bersalah oleh Pengadilan.
Karya sederhana ini, memberikan informasi yang bisa menjadi panduan praktis bagi siapa saja yang mengalami masalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, atau dalam istilah hukum ketiganya disebut dengan masalah Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (ABH).
Satu hal penting yang harus diperhatikan, ketika anak Anda terlibat dalam suatu tindak pidana adalah, bahwa orang tua atau wali anak, memiliki kewajiban untuk terus mendampinginya dalam setiap tahap proses penyelesaian perkara. Semoga panduan praktis ini dapat bermanfaat.
Silakan diunduh disini.