Baru berselang beberapa minggu setelah muncul dugaan kasus penyiksaan oleh aparat kepolisian di Deli Serdang, Sumatera Utara, kasus dugaan penyiksaan serupa kembali terjadi, kali ini bahkan hingga menyebabkan korban kehilangan nyawa. ICJR menuntut keras dilakukannya pengusutan terhadap dugaan penyiksaan terhadap Hendri untuk dibawa ke ranah peradilan pidana. Kementerian Hukum dan HAM segera rombak Revisi UU Narkotika dan KUHAP.
Dari Informasi yang ICJR himpun dari berbagai pemberitaan oleh Jurnalis, Hendri Alfred Bakarie meninggal dunia pada Sabtu 8 Agustus 2020 pukul 07.13 WIB ketika menjalani pemeriksaan di Satres Narkoba Polresta Barelang, Batam, dengan kondisi kepala diperban dan dibungkus plastik serta badan yang memar. Pihak kepolisian menyatakan bahwa Hendri mengeluhkan sesak napas padahal keluarga bersaksi bahwa Hendri tidak memiliki Riwayat penyakit asma. Pihak keluarga kemudian mendatangi Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK) Batam tempat jenazah Hendri disemayamkan dan berdasarkan konfirmasi secara lisan oleh dokter, Hendri juga dinyatakan negatif Covid-19 sebelum dilakukan autopsi.
Hingga saat ini belum dapat diketahui secara pasti alasan dibalik pembungkusan kepala Hendri dengan plastik tersebut karena baik dari pihak rumah sakit maupun kepolisian diketahui sama-sama membantah melakukan tindakan itu. Namun hal yang jelas terjadi, seorang warga sipil meninggal dunia ketika berada di bawah pengawasan penyidik dengan kondisi fisik yang memperlihatkan adanya tanda-tanda telah dilakukan tindakan kekerasan. Dalam kasus ini sangat patut untuk menduga telah terjadi penyiksaan oleh aparat yang bahkan hingga menyebabkan kematian. Selain itu, prosedur upaya paksa, mulai dari penangkapan hingga penggeledahan diduga juga dilakukan secara tidak sah.
Hendri pada 6 Agustus 2020 sore hari ditangkap di Kawasan Belakang Padang, Batam karena diduga terlibat dalam tindak pidana narkotika. Berdasarkan keterangan keluarga, pihak kepolisian yang melakukan penangkapan tidak memperlihatkan surat penangkapan maupun surat tugas yang menunjukkan identitas aparat tersebut. Kemudian keesokan harinya pada 7 Agustus 2020 dilakukan penggeledahan oleh petugas yang mengaku dari Satresnarkoba Polresta Barelang Batam terhadap rumah Hendri, namun hasilnya tidak ditemukan barang bukti apapun. Istri Hendri juga menyatakan ketika dibawa pulang untuk melakukan penggeledahan, wajah Hendri sudah terlihat bengkak dan lebam.
Setelah diketahui tidak ditemukan barang bukti dalam proses penggeledahan, tindakan kekerasan terhadap Hendri patut diduga dilakukan untuk mengejar pengakuannya terkait keterlibatannya dalam tindak pidana yang dimaksud, sebagaimana praktik-praktik penyiksaan yang selama ini terjadi. Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019 – Mei 2020 yang diluncurkan oleh KontraS, menunjukkan dari total 62 kasus penyiksaan yang dihimpun, mayoritas sebanyak 48 kasus di antaranya merupakan penyiksaan oleh oknum kepolisian. KontraS juga menemukan tidak ada satu kasus pun yang diproses secara pidana. Berdasarkan sampling terhadap 45 kasus, sebanyak 40 kasus bahkan tidak ada proses lanjutan, 2 kasus mencabut laporan, dan 3 kasus hanya berakhir dengan sidang etik.
Khusus terkait kasus narkotika yang menjerat Hendri, ICJR menaruh sorotan tajam pada UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memberikan kewenangan penangkapan terhadap tersangka kasus narkotika selama 3×24 jam yang juga dapat kembali diperpanjang selama 3×24 jam, artinya ada total 6×24 jam masa penangkapan. Masa penangkapan yang panjang ini dapat mengakibatkan incommunicado detention, yakni penahanan tanpa akses terhadap dunia luar, yang secara internasional telah diakui sebagai salah satu kondisi terjadinya penyiksaan. Bahkan dalam hal ini juga sangat dimungkinkan terjadi tindakan penghilangan orang. Sebab, tersangka yang berada dalam masa penangkapan yang panjang tersebut tidak wajib ditempatkan dalam tempat-tempat penahanan yang sah. Tidak adanya pengaturan terkait tempat untuk menampung tersangka selama menjalani penangkapan yang panjang ini menutup peluang pengawasan yang efektif. Adanya ketentuan masa penangkapan yang panjang dalam kasus narkotika memang sangat berbahaya karena menjadikan langgengnya praktik-praktik buruk penyiksaan.
Praktik buruk dalam kasus-kasus narkotika dapat dikonfirmasi melalui Studi Kasus terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta oleh LBH Masyarakat pada 2012, yang menunjukkan banyak terjadi pelanggaran terhadap prosedur penangkapan dalam kasus narkotika, mulai dari dilakukannya penangkapan tanpa surat perintah penangkapan, diabaikannya hak untuk diberitahu penangkapan tersangka kepada keluarganya, hingga dugaan kekerasan fisik, mental, maupun seksual selama masa penangkapan. Sebanyak 194 responden (50%) secara tegas mengatakan keluarganya tidak menerima tembusan surat perintah penangkapan). Kemudian dalam studi tersebut juga ditemukan mayoritas responden, yaitu 228 (67,4%), mengalami bentuk kekerasan fisik dan mental ketika ditangkap oleh penyidik.
Tanpa adanya minimal alat bukti hingga surat-surat yang membuktikan wewenang yang sah, tindakan kepolisian dalam melakukan penangkapan hingga penggeledahan dalam kasus Hendri merupakan tindakan melawan hukum, bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan penculikan terhadap warga sipil. Ditambah dengan akibat dugaan tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian, pihak kepolisian yang menempatkan Hendri di bawah pengawasannya harus dimintai pertanggungjawaban. Tidak cukup hanya sanksi disiplin atau etik, tindakan yang dilakukan terhadap Hendri merupakan dugaan penyiksaan, penganiayaan berat dan atau pembunuhan yang harus dijerat dengan sanksi pidana.
Untuk itu, ICJR menuntut keras agar pengusutan terhadap dugaan penyiksaan terhadap Hendri dibawa ke ranah peradilan pidana. Dengan melihat praktik selama ini, mekanisme internal kepolisian melalui Proram maupun Kompolnas tidak dapat lagi diharapkan untuk menuntut pertanggungjawaban terkait pengusutan dugaan kasus penyiksaan di lingkungan Polri. Oleh karenanya, mekanisme eskternal melalui National Preventive Mechanism (NPM) atau mekanisme pencegahan penyiksaan yang dijalankan oleh lima lembaga yakni Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, KPAI, dan Komnas Perempuan harus dapat diterapkan dalam kasus ini untuk mengusut tuntas fakta dibalik terjadinya dugaan penyiksaan oleh oknum aparat kepolisian tersebut. Hasil penelusuran NPM kemudian dapat dijadikan dasar dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan terhadap Hendri. Kami juga meminta Komisi III DPR RI untuk segera melakukan pemantauan dan apabila sudah selayaknya memanggil Kapolri untuk menjelaskan maraknya dugaan penyiksaan oleh anggota kepolisian.
Terakhir, ICJR juga merekomendasikan agar Kementerian Hukum dan HAM dan DPR RI segera merombak seluruh ketentuan-ketentuan yang dapat membuka peluang terjadinya praktik penyiksaan, termasuk soal masa penangkapan yang panjang hingga akuntabilitas aparat penegak hukum yang lemah dalam sistem peradilan pidana. UU Narkotika harus direvisi karena memuat ketentuan masa penangkapan yang berlebihan tanpa dengan jelas pula mengatur tempat penangkapan yang sah. Proses revisi KUHAP juga harus dimulai untuk mengatur ulang pola hubungan kewenangan antara polisi, jaksa, dan hakim dalam rangka memperkuat mekanisme pengawasan terhadap masing-masing aparat penegak hukum ketika menjalankan kewenangannya.