Aliansi Nasional Reformasi KUHP, yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat yang fokus pada advokasi Rancangan KUHP, mendesak Presiden Jokowi agar menerapkan penundaan eksekusi mati mengingat konsep pidana mati dalam Rancangan KUHP ditetapkan bersifat alternatif. Konsep ini lebih baik diterapkan sekarang karena sebetulnya Rancangan KUHP 2015 pun telah dipersiapkan oleh Pemerintah Indonesia saat ini.
Sejak belasan tahun yang lalu Rancangan KUHP Indonesia telah mendorong perubahan pidana mati menjadi bersifat alternatif, artinya pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.
Dalam Rancangan KUHP 2015, pemerintah kembali mendorong Pasal 66 yang menyatakan pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Ini berarti putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
Bahkan dalam Pasal 89 Rancangan KUHPdinyatakan pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d. ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun melalui Keputusan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Namun Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Alinsi Nasional Reformasi KUHP berpendapat bahwa ketentutuan diatas merupakan ketentuan yang paling akomodatif bagi situasi Indonesia saat ini. Hal ini juga dasari semangat bahwa tujuan Pemidanaan dalam Rancangan KUHP juga tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Jakarta, 19 April 2015
Aliansi Nasional Reformasi KUHP