Pemerintah memberlakukan pelaksaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berdasarkan Instruksi Mendagri No. 15 tahun 2021 yang kemudian mengalami perubahan pada diktum kesepuluh berkaitan dengan sanksi melalui Instruksi Mendagri No. 16 tahun 2021. Perubahan tersebut salah satunya dipusatkan dengan menambahkan tentang pemberlakukan sanksi bagi orang yang melanggar PPKM.
Berbeda dari PSBB yang sanksi pelanggarnya diatur dalam skema sanksi administrasi berdasarkan Peraturan Gubernur, kali ini pelanggar PPKM diatur sebagai tindak pidana, dengan bunyi diktum kesepuluh huruf c, yang menyatakan setiap orang dapat dikenakan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dalam rangka pengendalian wabah penyakit menular berdasarkan: KUHP Pasal 212 sampai dengan Pasal 218, UU No. 4 tahun 1984 tehtang Wabah Penyakit Menular, UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain.
Dalam diktum kesepuluh huruf c seolah begitu mudah menyatakan sesorang melakukan tindak pidana. Padahal masing-masing aturan yang dirujuk memilki unsur tindak pidana yang jika ingin diterapkan harus dibukti berdasarkan unsur tersebut. Hukum pidana tidak serta merta dapat begitu saja diterapkan tanpa memperhatikan unsur perbuatan jahat. Terlebih lagi, sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam UU dan Perda, tidak tersedia untuk instruksi menteri dalam negeri.
Kesalahan pengaturan soal sanksi ini sudah terjadi sejak awal pandemi, ketika pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pemerintah pusat membuat aturan yaitu Peraturan Pemerintah (PP tentang PSBB untuk penanggulangan Covid-19 tidak mematuhi tata aturan, sehingga penerannya di lapangan sewenang-wenang, tidak memperhatikan tata hukum dan standar hukum pidana yang ada.
Kesalahan ini dimuat kembali dalam pelaksanaan PPKM. Hal ini menandakan bahwa bahasan tentang sanksi pelaksaan PSBB ataupun PPKM tidak dibahas secara serius, padahal pemberlakukan sanksi memuat pelanggaran Hak Asasi Manusia, berkaitan dengan exercise aparat pemerintah dan penegak hukum menjalankan kewenangannya, tapi bahasan itu tidak pernah dipikirkan matang. Alhasil kita lihat kasus yang terjadi, warga dihukum dengan denda, sementara aparat berkerumun tidak dihukum, alat-alat berjualan masyarakat miskin disita tanpa mekanisme pemulihan dan uji yang jelas. Sewenang-wenang terhadap masyarakat rentan yang miskin ataupun tidak paham hukum.
Dalam penerapannya pun juga bahkan terdapat kasus di Tasikmalaya dimana pelanggar PSBB justru dijatuhi pidana penjara karena tidak sanggup membayar denda. Hal ini sangat memprihatinkan, baik dari kebijakan maupun kepekaan aparat penegak hukum. Adanya PPKM ditujukan untuk menanggulangi penyebaran virus, orang diminta untuk di rumah, tidak berinteraksi dengan orang yang tidak tinggal serumah, ketika melanggar justru ia dikirim ke penjara, tempat yang penuh sesak, banyak penyebaran penyakit, pun ketika dimasukkan harus melalui serangkaian protokol kesehatan yang menghadirkan beban biaya tambahan. Ini menujukkan, penerapan sanksi PPKM pun dilaksanakan tidak dengan memperhatikan secara serius tujuan dari pemberlakuan sanksi pelanggaran PPKM. Aparat penegak hukum harusnya lebih sensitif dan progresif melihat hal ini. Hukuman tidak musti denda dan penjara dalam Lapas, bisa secara progresif diperkenalkan penahanan rumah sebagai hukuman, kerja sosial berkontribusi pada penanggulangan wabah, dan lain sebagainya. Dengan adanya kasus ini maka dapat dikatakan aparat pun tidak memahami mengapa penting untuk melaksanakan PPKM dan menanggulangi wabah.
Carut marutnya permasalahan penegakan hukum pelanggar PPKM sudah ada sejak awal pandemi. Pemerintah membuat kebijakan soal sanksi tanpa memperhatikan tata hukum yang ada, terlalu sering menerobos kewenangan. Hal ini merupakan masalah besar untuk pemerintah saat ini.
Jakarta, 20 Juli 2021
ICJR