Pidana mati adalah penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat sehingga penghapusan pidana mati digaungkan secara global menuju pembaharuan hukum pidana yang menghormati hak atas hidup. Upaya penghapusan pidana mati di Indonesia mendapat momentum segar lewat hadirnya upaya komutasi di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bagi terpidana mati yang sudah lama duduk dalam deret tunggu eksekusi mati.
Deret tunggu eksekusi mati pada kenyataanya bukan hanya menjadi masa tunggu terpidana mati dalam proses pengajuan upaya hukum dan/atau permohonan grasi ke Presiden, deret tunggu juga menjadi bentuk penghukuman tersendiri bagi para terpidana mati. Terpidana mati di dalam deret tunggu sering kali mengalami perlakuan buruk yang tidak manusiawi akibat kondisi lapas yang over kapasitas dan kurangnya penjaminan hak dasar bagi mereka yang dalam deret tunggu. Walaupun pelanggaran yang disebut Fenomena Deret Tunggu merupakan horizon baru di dalam hukum internasional, tapi fenomena ini sudah diakui di dalam beberapa sistem peradilan hukum pidana, baik domestik maupun internasional.
Kealpaan Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar terpidana mati di dalam deret tunggu, menyediakan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang dalam kapasitas wajar, perlakuan buruk sampai keterbengkalainya kesehatan fisik dan mental, hingga membiarkan waktu deret tunggu yang tak menentu berpuluhan tahun, menempatkan terpidana mati di dalam posisi yang tidak manusiawi. Atas dasar itu, kajian ini diharapkan menjadi kontribusi dalam memberikan pemahaman apakah Fenomena Deret Tunggu itu bagi terpidana mati yang ada di Indonesia dan tanggapan seperti apa yang diharapkan dari pihak pemerintah baik eksekutif maupun legislatif untuk bisa mencegah Fenomena Deret Tunggu bagi terpidana dalam deret tunggu eksekusi mati.
Unduh hasil riset Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia disini.