Minggu, 26 Januari 2020, publik kembali digemparkan dengan kasus penggerebekan pekerja seks yang dilakukan oleh tim Ditreskrimsus Polda Sumbar bersama dengan anggota DPR RI Andre Rosiade. Sejumlah kanal berita online menyebutkan bahwa penggerebakan ini dilakukan setelah Andre Rosiade melakukan penjebakan dengan cara sengaja memesan jasa pekerja seks melalui aplikasi online dan meminjamkan kamar milik ajudannya untuk dijadikan lokasi penggerebekan.
Teknik penjebakan tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana. Metode penyelidikan/penyidikan dengan menggunakan teknik penjebakan (entrapment) merupakan salah satu teknik yang oleh MA telah disebutkan bertentangan dengan hukum acara pidana. Entrapment berbeda dengan tehknik penyidikan lain yang hampir mirip, seperti undercover buy dan control delivery dalam UU Narkotika. Keduanya hanya digunakan dengan tujuan membongkar jaringan kejahatan terorganisir dan transnasional seperti narkotika, itu sebabnya penggunaannya sangat terbatas dan tidak dikenal di undang-undang yang memuat hukum acara pidana lainnya.
Menurut pandangan ICJR, teknik penyelidikan/penyidikan dengan menggunakan penjebakan, bukanlah teknik yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam hukum acara pidana. Penjebakan sangatlah rentan dengan rekayasa, dan teknik ini secara umum memengaruhi kehendak dari Terdakwa untuk melakukan perbuatan. Perbuatan pidana tidak akan terjadi apabila tidak ada kondisi yang secara sengaja diciptakan yang merupakan esensi dari penjebakan itu sendiri. Padahal, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dibuktikan adanya perbuatan dan niat jahat dari terdakwa untuk melakukan perbuatan tersebut. Teknik penjebakan, mengkonstruksikan adanya niat jahat dari luar diri pelaku. Hal yang perlu diperhatikan, untuk mengukur terjadinya suatu perbuatan pidana, niat jahat timbul harus sejak adanya permulaan perbuatan dan niat jahat tersebut harus timbul dari internal diri pelaku perbuatan, bukan dari luar.
Dalam putusan No. 2517K/Pid.Sus/2012, Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Langsa yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena menurut MA terdakwa dalam kasus ini hanyalah sebagai pelaksana perintah dari orang lain yang adalah seorang polisi, dimana atas pesanan polisi tersebut sehingga terdakwa mencari narkoba dan akhirnya ditangkap sendiri oleh petugas dari kepolisian. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan itu (membeli shabu) karena diminta oleh polisi, sehingga menurut majelis pada diri terdakwa tidak terdapat kesalahan, karenanya tidak dapat dipidana sesuai dengan asas geen straf zonder schuld.
ICJR berpendapat bahwa perkara ini tidaklah dapat dilanjutkan prosesnya, sebab sebagaimana telah disampaikan MA dalam putusannya, tidak ada kesalahan yang dapat ditemukan di dalam diri pelaku. Ketiadaan kesalahan, artinya meniadakan perbuatan pidana, atau sederhananya perbuatan pidana tidak pernah terjadi di dalam perkara ini. Berdasarkan hal ini, ICJR mendorong Polda Sumbar untuk hati-hati dalam memproses kasus ini dan tidak melanjutkan kasus ke tingkat penyidikan. ICJR juga mengingatkan agar ke depannya, aparat penegak hukum berhati-hati menggunakan kewenangannya untuk melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penggeledahan, dengan tidak menggunakan praktik-praktik yang dilarang di dalam teknik penyelidikan/penyidikan.