Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyatakan pihaknya akan memberikan remisi dan memohonkan keringanan ke pengadilan terhadap narapidana di Palu dan Donggala yang kabur pada saat gempa bumi terjadi. Sayangnya, hingga saat ini, belum ada regulasi yang menjadi dasar keberlakuan kebijakan ini. ICJR menilai, regulasi mengenai insentif bagi narapidana yang kabur karena adanya bencana harus seger dihadirkan untuk memberikan kepastian hukum dan tidak menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan.
Gempa bumi dan tsunami yang menerjang Palu dan Donggala pada September 2018 lalu, selain berdampak terhadap masyarakat, juga berdampak pada kondisi Lembaga Pemasyarakatan di sekitar Palu dan Donggala. Per 19 November 2018, narapidana yang sudah kembali berjumlah 1201 orang dari total 1670 narapidana yang kabur.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan pada Senin, 26 November 2018 berdasarkan berita yang dilansir salah satu media online menyampaikan bahwa narapidana yang kembali ke Lembaga Pemasyarakatan di Sulawesi Tengah sesuai batas akhir yang ditentukan, yaitu 26 Oktober 2018 akan mendapatkan remisi. Tidak hanya itu, berdasarkan keterangan Dirjen PAS dinyatakan bahwa selain remisi, terhadap narapidana yang kabur, Ditjen PAS akan melakukan komunikasi dengan pengadilan untuk memberikan hukuman seringan-ringannya.
Kebijakan pemberian remisi pernah juga diberikan pada saat terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan sekitarnya pada tahun 2005. Pada saat itu, remisi diberikan kepada narapidana yang kabur dan kembali untuk menyerahkan diri melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pemberian Remisi kepada Narapidana dan Anak Pidana korban Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelmbang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Namun, pada saat itu tidak ada kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah terkait dengan peringanan hukuman yang akan dimintakan ke Pengadilan sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam kasus Palu dan Donggala ini.
Sayangnya, hingga saat ini bagi narapidana Palu dan Donggala, belum jelas instrumen hukum apa yang akan dijadikan landasan hukum oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memberikan remisi dan keringanan ini. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil penelusuran ICJR, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai protokol penanganan kondisi bencana untuk Lembaga Pemasyarakatan. Ketentuan yang ada hanyalah mengenai protokol penyelamatan dalam keadaan darurat dalam SOP Nomor AS.220.OT.02.02.20. yang merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 25 Permenkumham 33 tahun 2015 pengamanan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan.
Berdasarkan hal tersebut, ICJR terus mendorong Pemerintah yakni Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk segera membentuk peraturan yang mengatur secara komperhensif mengenai protokol penindakan bencana alam, termasuk mitigasi apabila terdapat kaburnya penghuni dan insentif bagi narapidana yang kabur ketika bencana terjadi. Hal ini jelas diperlukan karena Indonesia merupakan negara dengan potensi becanda yang besar, selain itu masalah overcrowded Rutan dan Lapas masih terus terjadi di Indonesia, dengan beban Lapas dan Rutan mencapai 201%. Perhatian terhadap Lembaga Pemasyarakatan jelas dibutuhkan, termasuk dalam konteks terjadi bencana alam.
–
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan. Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel