“Sudah saatnya Pemerintah Jokowi mengatur ulang pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan dengan mendorong RUU Pengelolaan Aset kejahatan yang komprehensif”
Problem pengelolaan aset kejahatan menjadi mengemuka ketika beberapa oknum penegak hukum ditengarai mengambil keuntungan atas benda-benda sitaan dan mengambil alih manajemen benda sitaan sesuai dengan keinginanya masing-masing. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) prihatin dan menilai bahwa persoalan ini merupakan persoalan lama yang yang seperti dibiarkan. Banyak oknum-oknum yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini. Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah secara serius merespon kondisi ini dengan melakukan reformasi tata kelola aset kejahatan di Indonesia
Ada beberapa persoalan kunci mengenai tata kelola aset kejahatan saat ini, yakni
Pertama, pengaturan yang lemah, dimana pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan tidak di jalankan satu pintu. Setiap institusi merasa berhak mengatur sendiri-sendiri manajemen dan eksekusi hasil sitaan. Sanksi yang minim dan pengawasan yang melempem makin memperparah pengelolaan aset benda sitaan. Dalam konteks ini benda sitaan dan aset kejahatan sangat rentan di korupsi.
Kedua, walaupun secara resmi ada lembaga Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang berwenang untuk mengelola benda sitaan. Namun lembaga ini minus sumber daya, termasuk minim anggaran dan hemat unit penyimpanan benda sitaan. Rupbasan seakan-akan dikerdilkan, baik dalam tata kelola maupun tata organisasinya, dimana jabatan Kepala Rupbasan hanya setingkat Lurah. Jumlah Rupbasan yang ada sekitar 63 di seluruh Indonesia sudah pasti kalah jumlah dibandingkan jumlah Kejaksaan dan Polres, ini menunjukkan gambaran persoalan utama Rupbasan.
Ketiga, akibat tidak dijalankan operasional satu pintu, maka tidak akan pernah ada data resmi yang sesuai fakta mengenai berapa jumlah benda sitaan maupun aset kejahatan secara keseluruhan dan di perbarui setiap harinya. Maka akibatnya tidak akan pernah didapat proyeksi aset kejahatan yang dapat di rampas oleh Negara secara maksimal.
Keempat, lemahnya pengelolaan benda sitaan dan aset kejahatan mengakibatkan rusaknya nilai benda-benda tersebut, muncul pula masalah bagaimana melelang benda-benda yang berpotensi rusak dalam penyimpanan. Disamping itu eksekusi perampasan Negara atas benda sitaan dan aset kejahatan tersebut umumnya di nilai terlalu rendah sehingga proyeksi pendapat Negara tidak maksimal.
Oleh karena itulah pemerintah tidak boleh hanya berhenti pada rencana mempersiapkan Rancangan Perpres mengenai pelelangan benda sitaan. Pemerintah harus mendorong tata kelola aset kejahatan yang lebih komprehensif di masa depan. Persoalan lelang benda sitaan hanyalah masalah kecil di dalam tata kelola aset kejahatan di Indonesia.