Meski mengapresiasi capaian pemerintah, ICJR menganggap Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa menyelamatkan nyawa warga negara masih sebatas dalam capaian diplomatik, bukan pengejawantahan pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kementerian Luar Ngeri Indonesia melakukan kegiatan Pameran Capaian 3 Tahun Kemlu di Jakarta pada 9 januari 2017, dalam pernyataan persnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi mengemukakan beberapa capaian pemerintah era Presiden Joko Widodo yang dianggap penting dan strategis. Salah satu dari banyak capaian yang dipresentasikan Menlu Retno adalah perlindungan warga negara di luar negeri.
Dalam keterangannya, Menlu Retno menyatakan bahwa dalam dunia dengan dinamika yang tinggi, upaya perlindungan warga negara di luar negeri memiliki tantangan tersendiri. Selama tiga tahun terakhir, menurut Menlu Retno pemerintah terus berupaya menghadirkan negara bagi seluruh rakyatnya, di mana pun berada.
Beberapa penegasan mengenai melindungi WNI di mana pun berada di seluruh dunia dijabarkan dalam beberapa capaian, diantaranya menyelesaikan 9.894 kasus WNI di luar negeri, Memfasilitasi pemulangan hampir 50.000 WNI, khususnya Pekerja Migran, yang menghadapi situasi rentan di luar negeri, Mengembalikan hak-hak finansial WNI senilai lebih dari Rp 120 milyar; dan Membebaskan 2 orang sandera dari Filipina Selatan. Selain capain-capain tersebut, salah satu capaian yang cukup menyita perhatian ICJR adalah klaim keberhasilan Pemerintah dalam membebaskan 14 WNI dari ancaman hukuman mati.
Dalam perspektif hak asasi manusia, tentu saja ICJR mengapresiasi capaian dari Pemerintah yang diwakili oleh Kemlu tersebut. Membebaskan seseorang dari ancaman pidana mati tentu saja bukanlah pekerjaan mudah, terlebih dalam perspektif negara hal itu dilakukan untuk melindungi warga negara sendiri. Namun, capaian penting keberhasilan Kemlu ini nampaknya dilakukan secara diskriminatif hanya bagi WNI di luar negeri dalam konteks kerja-kerja diplomatik.
Dalam catatan ICJR, sepanjang Pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah dilakukan 3 (tiga) kali gelombang eksekusi mati, yaitu dua gelombang eksekusi pada 2015 dan satu kali eksekusi di 2016. Dari tiga kali gelombang eksekusi itu, Pemerintah telah memasukkan 29 nama sdalam daftar terpidana yang akan eksekusi mati, 18 orang diantaranya telah dieksekusi mati dan sisinya masih menunggu giliran eksekusi di depan regu tembak. Dari 29 nama itu, ada 6 (enam) orang yang merupakan warga negara Indonesia. Dari total 6 (enam) orang WNI yang masuk daftar dieksekusi mati, 3 (tiga) orang dieksekusi mati yaitu Rani Andriani alias Melisa Aprillia, Zainal Abidin dan Freddy Budiman.
Fakta itu belum ditambah dari jumlah terpidana mati yang berada dalam masa tunggu eksekusi mati di Lapas di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen PAS Kemenkumham per Oktober 2017, terdapat 165 terpidana mati yang tersebar di Lapas-Lapas di seluruh Indonesia. Dari angka itu, 111 terpidana mati berkebangsaan Indonesia. Khusus untuk terpidana kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan. Artinya, apabila tidak ada perubahan dari sisi judisial, maka terpidana mati kasus narkotika, sekalipun ber- warga negara Indonesia tidak akan diberi kesempatan hidup oleh Presiden, berbeda dengan usaha yang dilakukan pemerintah bagi warga negara di luar negeri.
Apabila melihat penekanan tegas dari pemerintah bahwa melindungi WNI di mana pun berada adalah salah satu fokus pemerintah, maka terlihat inkonsistensi ketika Pemerintah malah melakukan eksekusi mati di dalam negeri. Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa menyelamatkan nyawa warga negara masih sebatas dalam capaian diplomatik, bukan pengejawantahan pembukaan UUD 1945 yaitu membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Untuk itu, disamping secara tulus mengapresiasi kerja-kerja Kemlu dalam menyelamatkan WNI yang diancam pidana mati di luar negeri, ICJR berharap agar Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga konsisten dan amanah tanpa diskriminasi dalam melindungi seluruh warga negara Indonesia. Bahwa menjadi penting menolak praktik hukuman mati di seluruh dunia, terlebih di dalam negeri sendiri. Pemerintah harus mampu menunjukkan bahwa menyematkan warga negara dan menjamin hak untuk hidup dari setiap warga negara adalah salah satu kewajiban utama Negara.