“Angka kematian tinggi yang digadang-gadang BNN dan Persiden Joko Widodo selama ini bisa jadi tepat, sebab pengguna dan pecandu narkotika yang membutuhkan rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan justru di lempar ke Penjara”
Pada Kamis, 2 Februari 2016, Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso mengungkapkan dari berbagai kasus yang ditangani BNN beberapa tahun terakhir ini, ditemukan 72 jaringan narkoba internasional yang bergerak di Indonesia dan memanfaatkan para napi di 22 Lembaga Pemasyarakatan. Dikonfirmasi oleh Kompas, angka itu meningkat menjadi 39 Lembaga Pemasyarakatan, Deputi Pemberantasan Narkoba BNN Irjen Arman Depari bahkan menyebut hampir semua Lapas menjadi tempat transaksi narkoba.
ICJR tentu saja mendukung langkah Pemerintah dalam menangani jaringan narkoba, utamanya para bandar. Namun ICJR di sisi lain ada persoalan serius terkait pengguna narkotika dalam Lapas. ICJR melihat pemerintah masih meneruskan program yang tidak sesuai dengan masalah pengguna narkotika di Indonesia, khususnya di Lapas. Memprihatinkannya kondisi Lapas, dan meningkatnya angka pengguna/pecandu termasuk menurunnya potensi kesehatan pengguna di Lapas tidak terlepas dari gagalnya program yang diselenggarakan Pemerintah, termasuk BNN.
Perlu diingat, seharus telah terjadi perubahan pendekatan penanganan terhadap pengguna narkotika, yaitu dari pendekatan pemidanaan ke pada pendekatan kesehatan masyarakat . Alasannya sederhana, dengan ditekannya angka pengguna dan pecandu maka akan secara signifikan merusak peredaran gelap narkotika. Namun hal ini baru dapat terjadi bila dengan pendekatan kesehatan masyarakat, bukan dengan pemidanaan yang keras. Namun apa yang terjadi? Pemerintah melalui tangan aparat penegak hukum masih saja mengirimkan pengguna dan pecandu narkotika ke penjara sehingga membanjiri Lapas, padahal semestinya menurut UU 35 Tahun 2009, baik pengguna dan pecandu lebih tepat untuk direhabilitasi atau diberikan penanganan dengan perspektif kesehatan.
Kondisi ini nampak nyata bagi pengguna narkotika yang dipidana oleh negara. Keadaan semakin buruk karena kebijakan alternatif penahanan yang jarang dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. SEMA dan SEJA terkait penempatan pengguna dan pecandu narkotika di tempat-tempat rehabilitasi tidak berjalan. Dari data yang dikeluarkan Kemenkumham Pada Desember 2016, penghuni Lapas yang “teridentifikasi” sebagai pengguna mencapai 25,569 orang.
Kapasitas | 118,907 |
Jumlah Penghuni (Napi dan Tahanan) | 204,551 |
Narapidana Kasus Narkotika | 74,357 |
Narapidana Kasus Narkotika yang teridentifikasi sebagai pengguna | 25,569 |
Catatan : Data sampai dengan Desember 2016 melalui SDP Dirjen PAS.
Apabila dilihat dari data diatas maka sekitar 30% dari penghuni Rutan dan Lapas adalah kasus Narkotika, dengan setengahnya teridentifikasi langsung sebagai pengguna. Namun apabila melihat praktik peradilan pidana, maka angka pengguna narkotika yang dipenjarakan bisa jadi lebih dari yang ada.
Berdasarkan data penelitian ICJR, EJA (Empowerment and Justice Action) dan Rumah Cemara tahun 2016, di PN Surabaya misalnya, dakwaan tertinggi yang dijatuhkan bagi pengguna dan pecandu narkotika adalah pasal-pasal dengan lebel “bandar”, karena memiliki, menyimpan dana tau menguasai narkotika. Temuan menunjukkan bahwa 61% dakwaan yang diajukan Jaksa pada pengguna dan pecandu narkotika mencantumkan Pasal 111 dan 112 UU Narkotika, pasal-pasal ini adalah pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat pengguna dan pecandu narkotika dengan ancaman pidana yang sangat tinggi, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun. Pasal-pasal ini juga secara otomatis mengategorikan seorang pengguna dan pecandu sebagai “bandar” dan bukan pengguna. Data di PN Surabaya, menunjukkan bahwa 94% pengguna dan pecandu narkotika, dijatuhi pidana penjara. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pengguna narkotika banyak yang dipenjarakan dengan lebel bandar atau kurir karena bukan dikenakan pasal -sebagai pengguna narkotik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara masih setengah hati dalam melakukan penyelamatan bagi pengguna dan pecandu narkotika, maka angka kematian tinggi yang digadang-gadang BNN dan Persiden Joko Widodo selama ini bisa jadi tepat, sebab pengguna dan pecandu narkotika yang butuh diperlakukan berdasarkan pendekatan kesehatan justru di lempar ke Penjara.
Banyaknya pengguna dan pecandu yang dipenjara tentu saja mengakibatkan memburuknya kondisi Lapas, maka jangan heran apabila transaksi narkotika merajalela di dalam Lapas dan bahkan mencapai level pengendalian, karena pada dasarnya nara[pidana pengguna membutuhkan asupan narkotika karena efek kecanduan.
Lapas selalu menjadi tempat yang tidak diperhatikan dalam konteks penyelesaian persoalan narkotika di Indonesia. Rencana Kementerian Hukum dan HAM untuk merotasi narapidana kasus narkotika juga dipastikan tidak akan banyak memperbaiki kondisi Lapas, sebab problem utama Lapas justru terletak pada banyaknya penghuni yang semestinya tidak perlu berada di dalam Lapas, contohnya pengguna dan pecandu narkotik.