Dalam rangka memperingati hari hukuman mati sedunia pada 10 Oktober, Aliansi Nasional Reformasi KUHP bersama Koalisi Anti Hukuman Mati mendesak Presiden Jokowi untuk menghapus praktik hukuman mati dalam sistem hukum pidana Indonesia. Negara-negara dari pelbagai dunia pun sudah bergerak untuk meninggalkan salah satu hukuman paling tidak beradab dalam sejarah manusia ini. Indonesia sendiri adalah satu dari negara yang masih mempraktikkan hukuman mati.
Sampai dengan saat ini Pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi mati 14 terpidana mati, keseluruhannya terjerat kasus narkotik. Eksekusi Gelombang I dilakukan pada Minggu, 18 Januari 2015, dilakukan terhadap enam orang terpidana mati yang keseluruhannya adalah warga negara asing. Adapun keenam terpidana tersebut adalah Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Eksekusi Gelombang II dilakukan pada Rabu, 29 April 2015 tengah malam. Ke-delapan terpidana mati adalah Myuran Sukumaran (WN Australia), Andrew Chan (WN Australia), Martin Anderson (WN Ghana), Zainal Abidin bin Mgs Mahmud Badarudin (WN Indonesia), Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol), Rodrigo Gularte (WN Brasil), Sylvester Obiekwe Nwolise (WN Nigeria) dan Okwudili Oyatanze (WN Nigeria).
Setelah eksekusi 2 gelombang yang menghabiskan biaya sampai Rp. 3 Milyar ini, Jaksa Agung sudah merencanakan eksekusi gelombang III dengan mengajukan anggaran Eksekusi ke APBN. Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan, saat ini terdapat 121 orang yang menunggu eksekusi mati di Indonesia. Tren tuntutan dan vonis pidana mati juga meningkat. Citra tegas yang dipertontonkan Pemerintah Jokowi dengan cara mengeksekusi mati nampaknya menjadi populer di kalangan Jaksa dan Hakim. Sepanjang Bulan Juli Hingga Oktober 2015 yang berhasil ditelusuri saja tidak kurang terdapat 13 Tuntutan Hukuman Mati terhadap Terpidana, baik dalam Kasus Narkotika maupun Pembunuhan Berencana (Penuntutan yang terdata dilakukan sepanjang bulan Juli sampai dengan Oktober terjadi 2 kali di PN Baturaja, dan sisanya merata sebanyak satu kali di masing-masing PN Tanjung Selor, PN Kayuagung, PN Lhoksukon, PN Cibadak, PN Pekanbaru, PN Banda Aceh, PN Tangerang, PN kerawang, PN Surabaya, PN Jakarta Pusat,).
Untuk Vonis Pengadilan, terdapat hal menarik, salah satunya adalah bagaimana Mahkamah Agung memvonis mati 13 orang, diantaranya dengan mengabaikan prinsip hukum penting, yaitu Mahkamah Agung bukanlah Judex Factie akan tetapi Judex Juris. Dengan menaikkan vonis penjara, maka Mahkamah Agung bukan menjadi Pengadilan Kasasi akan tetapi Pengadilan Banding tingkat kedua.
Tren vonis mati terlihat dalam jangka waktu 3 bulan yaitu sepanjang bulan Agustus sampai Oktober 2015 yang berhasil ditelusuri saja sudah terdapat 15 vonis hukuman mati di semua tingkatan pengadilan dari mulai PN sampai MA (Sepanjang bulan Agustus sampai oktober terdapat 12 putusan hukuman mati dari MA, 2 di PN Surabaya, dan 1 kali di PN Purwakarta). Angka vonis paska eksekusi mati itu melonjak dari 3 bulan sebelum Eksekusi Mati sepanjang bulan Oktober sampai dengan Desember 2014 yang hanya 5 vonis yang dijatuhkan (Sepanjang Oktober sampai Desember 2014 data yang berhasil terhimpun 2 putusan dari MA, 2 di PN Batam, 1 kali di PN Tangerang).
Ditataran Konstitusi, sampai dengan saat ini ada beberapa persoalan hukuman mati yang diperkarakan di MK sedang bergulir. Setidaknya ada 2 permohonan pengujian undang-undang terkait isu hukuman mati yaitu Pengujian ketentuan pembatasan PK pidana yang diatur di UU MA dan Kekuasaan kehakiman, serta ketentuan pertimbangan Grasi oleh Presiden di UU Grasi.
Dengan segala kontroversinya, Indonesia berhadapan dengan masalah peradilan jujur dan adil (Fair Trial) yang tidak kunjung selesai, desakan Internasional yang begitu kuat, sampai dengan persoalan perlindungan warga negara terkait warga negara Indonesia yang juga terancam hukuman mati di luar negeri. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Jokowi malah mempertontonkan aksi eksekusi mati dalam 2 gelombang yang terjadi selama satu tahun diawal kepemimpnannya yang tahun depan dikabarkan akan masuk ke gelombang ke-tiga. Masih banyaknya persoalan dalam kasus-kasus pidana mati menjadikan konteks 10 Oktober sebagai waktu yang tepat untuk melihat relevansi hukuman mati di Indonesia saat ini.
Kondisi Hukuman Mati DI Indonesia :
- Hukuman Mati Dengan Kondisi Fair Trial Buruk
Tak lama setelah Perwakilan Tetap RepubIik Indonesia (RTRI) pada “High-Level Panel Discussion on the Question of the Death Penalty: Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges Faced in that Regard” dalam Sidang Dewan HAM PBB Sesi ke-28 yang dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2015, di Markas Besar PBB Jenewa, mengumumkan bahwa fair trial terhadap seluruh terpidana mati telah dilakukan, negara ini seakan tertampar dengan temuan putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati terhadapa anak atas nama Yusman Telambanua. Tidak hanya atas dasar dirinya seorang anak, kejanggalan kasus Yusman dan kakak iparnya Rasulah Hia yang juga terpidana mati, menyeruak ke publik. Yusman dan Rasulah Hia terindikasi mengalami praktik penyiksan dari penyidik untuk mengakui perbuatannya meskipun tidak ia lakukan, selama proses hukum Yusman dan Rasulah Hia juga tidak mendapatkan bantuan hukum dan advokat yang layak. Penasihat Hukum keduanya yang harusnya melakukan pembelaan malah meminta agar Pengadilan menjatuhkan pidana mati terhadap mereka.
Yusman tidak sendiri, Marry Jane Veloso, korban perdagangan orang, hampir saja dipidana mati pada gelombang ke II, bersyukur perekrut dirinya menyerahkan diri kepada penegak hukum di Filipina. Anehnya, argumen bahwa dirinya adalah korban perdagangan orang sudah diutarakan mulai dari persidangan di PN sampai PK, namun tidak diindahkan oleh jaksa maupun Hakim dalam menjatuhkan putusan. Nasib berbeda dirasakan Zainal Abidin, 10 tahun permohonan PK nya terselip, dirinya malah dieksekusi dalam waktu yang sangat singkat dengan putusan Pk-nya, Zainal Abidin bahkan sudah dipindahkan ke ruang isolasi padahal putusan PK nya belum keluar.
Secara umum, buruknya fair trial di Indonesia dapat terlihat dari masih banyaknya persolan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan pidana mati, persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang, seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif, sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.
- Politik Dua Muka Pemerintah
Dalam konteks Rancangan KUHP, pemerintah sesungguhnya sudah bertujuan untuk membatasi penggunaan pidana mati. Pasal 89 RUU KUHP menyatakan bahwa Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Kesan pengetatan terhadap pidana mati lalu diejawantahkan dalam Pasal 90 yang pada intinya mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun. Apabila selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Apabila masa percobaan tidak berhasil, barulah pidana mati dapat dilakukan, setelah grasi yang diajukan oleh terpidana ditolak oleh Presiden. Tidak sampai disitu, dalam Pasal 92 RUU KUHP, kembali mengatur ketentuan yang menyatakan bahwa jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun, bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.
Meskipun pengaturan ini dianggap sebagai jalan tengah, namun terlihat beberapa hal inkonsistensi dalam RKUHP. Masih dicantumkannya hukuman mati dalam RKUHP bertentangan dengan tujuan pemidanaan yang juga diatur dalam RKUHP yang secara tegas dalam Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk meneritakan dan merendahkan martabat manusia. Selain itu dalam Buku II RKUHP masih banyak tindak pidana yang mencantumkan pidana mati tidak sejalan dengan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia, misalnya terhadap tindak pidana Makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Korupsi dalam keadaan tertentu, kejahatan penerbangan, dan beberapa kejahatan lainnya. Konteks ini menunjukkan bahwa RKUHP tidak diharmonisasi dengan beberapa ketentuan Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Politik dua muka pemerintah yang disatu sisi memahami pentingnya membatasi penggunaan pidana mati dengan fakta bahwa akan ada rangkain eksekusi mati berikutnya menunjukkan bahwa Pemerintahan Jokowi tidak memiliki pendirian dan sikap terkait Hukuman Mati. Tidak hanya ditataran pemerintah, bahkan di lembaga NHRI (National Human Rights Institution) seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan KPAI juga terbelah, KPAI nyata-nyata mendukung hukuman mati. Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa konsep hukum dan hak asasi manusia di Indonesia sangat rapuh.
- Buruh Migran Terancam Pidana Mati, Indonesia Malah Eksekusi Mati?
Keraguan pemerintah terkait penggunaan hukuman mati juga terlihat saat pemerintah meminta pengampunan hukuman mati kepada Kepala Negara lain untuk warga negara yang sedang berhadapan dengan hukuman mati. Sebagai catatan, saat ini buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati mencapai 228 orang, tersebar diberbagai negara : Arab Saudi 36 orang, Malaysia 168 Orang, Tiongkok 16 Orang, Singapura 4 orang, Laos 2 orang, UEA dan Vietnam masing-masing 1 orang. Sifat Indonesia yang disatu sisi tidak memberikan ampun bagi terpidana mati di Indonesia nyata-nyata dianggap berbeda saat mengharapkan pengampunan kepada warga negara sendiri. Ketidak mampuan Indonesia untuk melindungi warga negaranya dari Hukuman Mati dan memperkuat posisi tawar dengan menolak hukuman mati malah diperkeruh dengan mempertontonkan aksi hukuman mati di negara sendiri, hal ini merupakan bentuk arogansi dan tidak berempati bagi warga negara yang sedang menghadapi eksekusi di luar negeri.
- Efek Jera dan Pemberantasan Narkotika
Efek jera yang selama ini menjadi jantung argumen penerapan hukuman mati tak pernah terbukti, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Ditegaskan PBB, tak-ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan. Untuk masalah narkotika misalnya, para akademisi di bidang kesehatan publik melalui jurnal The Lancet, menyatakan bahwa kebijakan perang Indonesia terhadap narkotika salah sasaran karena mengedepankan kriminalisasi dan pidana bukan aspek kesehatan masyarakat seperti rehabilitasi. Kesimpulan beberapa akademisi dalam Jurnal The Lancet ini sangat beralasan, Indonesia pertama kali menjatuhkan pidana mati pada narapidana kasus narkotika pada tahun 1995 atas nama Chan Tian Chong, setelah itu eksekusi mati kepada narapidana kasus narkotik terus bergulir dari mulai 2004 sampai dengan 2015 tidak kurang kepada 21 terpidana narkotika, hasilnya? Berdasarkan penelitian yang dibuat BNN sendiri, jumlah pengguna narkotika pada 2008 mencapai 3,3 juta jiwa, angka tersebut dicatat akan bertambah sampai dengan 2015 menjadi 5,1 Juta jiwa.
- Aturan hukum pencabut keadilan
Problem administratif dan masih diutamakannya kepentingan formil dari pada mencari kebenaran materil sangat kental dengan dikeluarkannya beberapa aturan oleh Mahkamah Agung. Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 menunjukkan bahwa tujuan utama dari peradilan pidana adalah kebenaran materil sehingga alasan- alasan yang sifatnya administratif dan formil dapat dikesampingkan. MA merespon mengeluarkan SEMA 7/2014 yang pada intinya membatasi pengajuan PK oleh pencari keadilan, alasannya adalah masalah adminstratif dan memuluskan eksekusi mati. Oleh MK, SEMA 7/2014 dianggap sebagai suatu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menganggap bawah kejadian ini merupakan suatu bentuk pembangkangan dari konstitusi. Dikeluarkannya SEMA 7/2014 dan aturan lainnya yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan menjadi persoalan serius yang masih perlu untuk dibenahi.
Sampai saat ini, Permohonan Hak Uji Materil Terhadap SEMA 7/2014 yang dimohonkan oleh Institute for Criminal Justice Reform ke Mahkamah Agung juga belum diputus oleh Mahkamah Agung
- Pemberian Grasi : Presiden Baca kah?
Kewenangan Presiden untuk memberikan Grasi diatur secara umum dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Kewenangan ini kemudian diatur lebih lanjut mekanismenya dalam UU Grasi. Namun demikian, terdapat permasalahan fundamental dalam UU Grasi saat ini. Permasalahan timbul dikarenakan tidak adanya suatu ketentuan yang mewajibkan Presiden Republik Indonesia secara terang dan jelas untuk mempertimbangkan masak-masak tiap permohonan grasi yang masuk, dan memberikan penjelasan yang layak dalam menerima maupun menolak permohonan grasi.
Ketiadaan kaidah kewajiban dimaksud menciptakan suatu potensi besar untuk Presiden Republik Indonesia menyalahgunakan kewenangannya. Ia bisa saja menerima atau menolak permohonan grasi yang diajukan kepadanya tanpa melakukan penelitian dan pertimbangan yang layak yang dijadikan sebagai alasan dalam mengabulkan atau menolak grasi, yang mana hal ini menjadi hak bagi masyarakat, dan utamanya bagi pemohon grasi. Presiden Republik Indonesia saat ini dapat menggunakan kewenangan grasi-nya secara tidak bijaksana, dan bahkan bertentangan dari tujuan dasarnya.
Untuk Pemohon, grasi merupakan suatu keputusan yang bisa menentukan apakah seorang terpidana esok hari hidup atau tidak. Selama ini, seperti diketahui bahwa Presiden tidak memberikan pertimbangan yang cukup dan layak untuk menolak atau menerima grasi, harusnya ada penelitian atau studi guna melihat lebih dalam apakah seseorang layak atau tidak dipidana. Ketentuan longgar seperti ini dapat memicu Presiden sewenang-wenang dalam memberikan keputusan Grasi tanpa dasar argumentasi yang jelas.
Atas dasar tersebut, Kami Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Koalisi Indonesia Anti Hukuman Mati, mendesak pemerintah Presiden Jokowi untuk :
- Melakukan review ulang pada semua putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana mati, harus dipastikan bahwa semua putusan sudah sesuai dengan prinsip fair trial dan prinsip universal terkait penjatuhan pidana mati.
- Melakukan review ulang pada setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan guna menjamin terlindungi hak asasi manusia dan pencari keadilan.
- Melakukan moratorium eksekusi bagi terpidana mati dan penjatuhan pidana mati selama masih belum adanya hukum acara pidana yang sesuai standar fair trial. Setidaknya pemerintah harus segera melakukan pembahasan dengan segera terkait perubahan KUHAP untuk memberikan standar baru bagi proses peradilan pidana terhadap tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati.
- Mahkamah Agung untuk segera mencabut SEMA 1/2012 dan SEMA 7/2014 yang memberikan batasan-batasan serta hambatan kepada pencari keadilan. Peninjauan Kembali (PK) seharusnya diatur lebih komprehensif dalam KUHAP atau UU khusus mengenai Peninjauan Kembali sehingga tidak menimbulkan pembatasan terhadap hak terpidana mati seperti pengaturan saat ini.
- Untuk isu narkotika, mengadopsi rekomendasi Ahli dan Akademisi kesehatan meminta pemerintah untuk meninjau ulang strategi punitif/menghukum yang telah terbukti tidak efektif dan bahkan kontra-produktif dan menganjurkan untuk memperluas intervensi berbasis bukti seperti terapi substitusi opioid, layanan alat suntik steril, penanganan HIV serta pengguna napza.
- Untuk isu buruh migran, Pemerintah harus mengambil langkah-labgkah strategis dan menaikkan posisi tawar dalam melindungi warga negara Indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri, mengambil langkah untuk menolak hukuman mati bisa menjadi alasan rasional dalam menaikkan nilai tawar untuk melindungi warga negara Indonesia.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP dan Koalisi Indonesia Anti Hukuman Mati
ICJR, Elsam, PSHK, ICW, LeIP, AJI Indonesia, LBH Pers, Imparsial, KontraS, HuMA, Wahid Institute, LBH Jakarta, PSHK, ArusPelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, ECPAT, IKOHI, Migrant Care, Yayasan Satu Keadilan, PBHI