Peradilan Pidana Indonesia Memiliki Potensi Peradilan Sesat dan Kekeliruan dalam proses peradilan yang sangat tinggi, untuk itu pengaturan Peninjauan Kembali sangat perlu diperhatikan dalam Rancangan KUHAP ke depan.
Paska putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/2013, pengaturan Peninjauan Kembali (PK) berubah dalam KUHAP, PK kemudian bisa diajukan lebih dari satu kali. Menurut MK, kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. MK mengatakan bahwa untuk alasan keadilan dalam perkara pidana, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka pembatasan PK bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Putusan itu kemudian direspon berbeda oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjuan Kembali dalam Perkara Pidana (SEMA 7/2014), MA kemudian melakukan pembatasan pengajuan Permohonan Kembali yang hanya dapat dilakukan satu kali atas dasar ditemukannya bukti baru atau novum. SEMA 7/2014 ini akhirnya menimbulkan masalah baru dalam pengaturan KUHAP sebab dengan begitu terdapat dua ketentuan yang mengatur hal berbeda tentang PK, yaitu putusan MK dan KUHAP serta SEMA 7/2014.
Komite Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Komite KUHAP) memandang bahwa pengaturan PK perlu diperhatikan terlebih dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP) ke depan, sebab ada beberapa hal yang harus dipastikan.
Pertama, Komite KUHAP memandang bahwa permohonan PK lebih dari satu kali sudah tepat dan sejalan dengan tujuan PK diatur yaitu dengan alasan keadilan. Selain itu jangka waktu permohonan PK juga tidak boleh dibatasi, ini berarti selama terdapat Novum atau alasan mengajukan PK, maka permohon PK dapat mengajukan PK ke MA.
Kedua, Selain atas dasar keadaan baru dan pertentangan putusan hakim, alasan lain dapat diajukannya PK adalah Apabila di kemudian hari diketahui adanya tindak pidana yang menyebabkan hilangnya independensi dan integritas penegak hukum yang memeriksa perkara.
Ketiga, Pemohon PK yang dinyatakan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) atau beritikad tidak baik dengan tidak menjalankan pidana yang sudah dijatuhkan sebelumnya tidak dapat mengajukan PK. Namun pengaturan bahwa terpidana harus hadir dalam Sidang Peninjauan Kembali harus ditinjau ulang.
Keempat, Apabila terpidana telah menjalani putusan yang diajukan peninjauan kembali dan ternyata putusan peninjauan kembali membebaskan, melepaskan dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum atau putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, maka pemohon peninjauan kembali atau ahli warisnya wajib diberikan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Komite KUHAP memandang bahwa pengaturan PK harus didudukkan kembali pada alasan dasarnya dibentuk, yaitu karena adanya “peradilan sesat” atau kekeliruan yang nyata dalam proses peradilan pidana. Terlebih dalam peradilan pidana Indonesia yang memiliki potensi terjadinya “peradilan sesat” tinggi karena minimnya pengawasan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, inilah sebenarnya yang menjadi salah satu akar timbulnya novum yang muncul justru di akhir perkara pidana.
Pendekatan crime control model terlalu menonjol dalam penegakan hukum pidana sehingga pengawasan atas langkah-langkah upaya paksa kurang memadai. Salah satu implikasinya adalah banyak problem dalam pengumpulan alat bukti. Selama ini, menurut Komite KUHAP, tindakan dari aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum memang minim pengawasan karena diskresi penyidik dan penuntut yang terlalu besar. Sebab lembaga pengawasan dan kontrol horizontal terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum seperti Praperadian benar-benar gagal total dalam KUHAP. Akibatnya maka potensi novum novum akan kerap muncul di akhir peradilan.
Atas dasar tersebut, Komite KUHAP memandang bahwa pemerintah perlu berkonsentrasi dan serius dalam melakukan pembahasan ke depan terkait isu PK. PK tidak dapat dilihat hanya sekedar prosedur hukum formal belaka, namun perlu memandang pentingnya mekanisme PK bagi pencari keadilan di Indonesia.