Jakarta – Intitute for Criminal Justice Reform (ICJR) menggelar diskusi dan peluncuran buku hasil penelitian tentang Penahanan Pra Persidangan pada 28 Juni 2012 di Hotel Akmani Jakarta Pusat. Dalam diskusi dan launching tersebut diselenggarakan untuk tujuan melihat kembali bagaimana eksistensi lembaga praperadilan di Indonesia, praktik penahanan dan norma yang mengaturnya, kompabilitas antara norma tersebut, kemudian bagaimana praktik kebijakan penahanan itu diberikan dari aspek penegak hukum, perkembangan trend, dan implikasi peningkatan jumlah penahanan termasuk didalamnya tentang situasi dan tempat penahanan. Supriyadi W. Eddyono, Koordinator Tim Peneliti ICJR mengemukakan temuan-temuannya yaitu pertama mengenai tempat penahanan yang berada dibawah departemen hukum dan ham dan tempat penahanan ditingkat kepolisian yang disebut dengan rutan polisi. Masalah lama yang juga menjadi temuan dari peneliti yaitu adanya overcrowded dan overstaying. Kondisi tersebut di sebabkan oleh bebarapa faktor yang diantaranya tidak adanya penambahan rutan sejak tahun 1984 secara signifikan. Adapun penambahan hanya terdapat di 13 tempat untuk seluruh Indonesia, selebihnya hanya perbaikan-perbaikan dan penambahan kamar saja.
Dalam hal kecenderungan trend yang terjadi, Supriyadi W. Eddyono menemukan beberapa hal yaitu yang pertama tentang trend kejahatan terus meningkat dari tahun ketahun, temuan yang kedua yaitu regulasi yang mengizinkan penahanan juga bertambah. Pasal-pasal tindak pidana yang dapat menyebabkan seseorang dikenai penahanan jumlahnya hampir 500 lebih, temuan ketiga yaitu bagaimana praktek penahan diberikan. Selama ini praktek penahanan dapat kita kategorisasikan menjadi saat setelah reformasi dan sebelum reformasi dan itu sudah banyak dikonfirmasi oleh banyak penyidik. Tapi prakteknya adalah hampir semua penyidik menyatakan bahwa itu adalah kewenangan dan bukan mengedepankan pada unsur yuridisnya atau unsur kekhawatirannya sehingga praktek penerapan penahanannya juga semakin tinggi.
Lebih lanjut Supriyadi W. Eddyono juga menemukan bahwa lembaga praperadilan di Indonesia itu masih dianggap sebagai anak bawang dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Ia mengatakan bahwa dalam laporan MA dari tahun 2001-2010 tidak ditemukan pembahasan mengenai praperadilan. Hal ini mungkin disebabkan bukan bagian dari kewenangan Mahkamah Agung sehingga menunjukan lembaga praperadilan merupakan ranah ditingkat Pengadilan Negeri. Sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti, berapa jumlah permohonan pra peradilan yang diterima di seluruh Pengadilan di Indonesia. Kondisi ini menurutnya menyebabkan pengaturan praperadilan selain yang ada di KUHAP juga diatur berdasarkan kebijaksanaan, pengalaman, preseden yang berbeda – beda di Pengadilan Negeri. Hal ini tentu terdapat konsekuensi yaitu tentang tenggat waktu yang jarang digunakan secara maksimal, sehingga banyak waktu yang ditunda dan kultur birokrasi yang masih pakewuh terhadap sesama aparat penegak hukum.
Selanjutnya Gatot Rianto, Wakil Ketua Badan Pengurus YLBHI, dalam diskusi tersebut juga mengemukakan bahwa masyarakat perlu paham jika polisi menangkap apa yang perlu dilakukan, baik oleh pihak kepolisian, tersangka atau keluarganya. Dalam beberapa kasus sering ditemukan penahanan yang sewenang-wenang yang di iringi juga oleh tindak kekerasan seperti diseret, dipukul dan semacamnya. Kemudian dalam proses penahanan tidak dilakukan secara baik atau secara administrasi dan dalam penyidikan cenderung terjadi tindak pemaksaan baik secara fisik maupun psikis. Ia juga mengatakan bahwa prosedur mengajukan permohonan praperadilan saya kira juga banyak masyarakat yang tidak paham atau tersentuh, karena tidak seluruh mereka itu terjangkau oleh advokat karena tinggal dikampung-kampung yang mungkin seringkali mengalami tindakan-tindakan diskresi seperti itu. Pemahaman ini yang sebenarnya harus kita sebarluaskan kepada masyarakat. Hak-hak tersangka itu tidak sekedar didasarkan pada satu regulasi, tapi bagaimana rakyat lebih memahami bahwa hak tersebut adalah hak konstitusional sekaligus hak asasi yang tidak boleh dilanggar.