Selain tindak pidana penghinaan dalam UU ITE, Pasal 162 UU Minerba sering kali digunakan untuk menjerat masyarakat yang bersuara terhadap dampak buruk pertambangan di Indonesia. Ketentuan ini telah menjadi alat yang ampuh untuk meredam protes publik terhadap aktivitas pertambangan yang justru merugikan masyarakat yang berada di area sekitar pertambangan. Perkara Haslilin dan Firmansyah yang diadili di Pengadilan Negeri Andoolo adalah yang paling baru.
Menanggapi fenomena ini, ICJR telah mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) untuk dua perkara ini. Menurut kami, ada tiga hal yang perlu untuk diperhatikan Hakim ketika menerapkan Pasal 162 UU Minerba. Hal ini diperlukan agar penggunaan pasal ini dapat sejalan dengan maksud dari perumusan awalnya dalam UU Minerba.
Pertama, tindak pidana ini dibuat untuk melindungi pemegang hak yang telah memenuhi kewajibannya dari pemegang hak sebelumnya. Jadi, jika kedua pihak telah memenuhi kewajiban masing-masing, pemegang hak sebelumnya tidak boleh menghalangi atau mengganggu aktivitas pemegang hak yang baru. Oleh karena itu, pasal ini seharusnya ditafsirkan terbatas hanya pada perbuatan yang berhubungan dengan antar pemegang hak saja.
Kedua, penerapan pasal ini harus mengacu pada ada atau tidaknya niat jahat serta tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Dalam dua perkara ini, perlu untuk dilihat konteks awal mengapa kedua Terdakwa berdemonstrasi di lokasi pertambangan dan apa tujuannya. Jika tujuannya adalah untuk memprotes dampak buruk yang ditimbulkan oleh perusahaan pertambangan, perbuatannya tidak memenuhi unsur Pasal 162 UU Minerba sebab, yang diangkat adalah permasalahan publik yang dialami semua orang dan bukan ditujukan untuk mendapatkan keuntungan serta bukan didasari niat jahat.
Ketiga, potensi adanya SLAPP dalam dua perkara ini. Berdasarkan surat dakwaan serta keterangan saksi-saksi, perkara ini bermula ketika para terdakwa bersama warga lainnya berdemonstrasi di wilayah pertambangan. Ini bukan yang pertama kali. Tetapi protes sebelumnya ternyata tidak membuahkan hasil. Sebagai permasalahan yang sifatnya publik, SLAPP sering kali menjadi cara pihak-pihak tertentu untuk mengalihkannya ke ranah hukum. Oleh karena itu, potensi SLAPP dalam perkara ini harus dipertimbangkan. Terlebih lagi, Kejaksaan dan Mahkamah Agung telah memiliki peraturan tersendiri terkait mekanisme mengadili perkara lingkungan hidup. Salah satunya berisi mekanisme mengadili kasus-kasus SLAPP.
Oleh karena itu, apabila dalam fakta hukum di pengadilan ditemukan bahwa para terdakwa melakukan aksinya karena ada masalah lingkungan serta ditujukan untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama, pengadilan sebaiknya menyatakan kedua terdakwa tidak bersalah karena tidak memenuhi unsur Pasal 162 UU Minerba. Atau menyatakan bahwa kedua Terdakwa adalah pembela lingkungan yang dilindungi melalui Pasal 66 UU Lingkungan Hidup.
Unduh dokumen di sini