Tidak butuh waktu lama, UU ITE kembali menelan korban saat tahun 2020 baru berjalan dua minggu. Kali ini aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto Toto, yang menjadi korban pasal karet dalam UU ITE. Sudarto ditangkap karena mengkritik terkait dugaan pelarangan ibadah natal di Nagari Sikabau. Bahkan, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Sumbar, Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto, menyatakan bahwa Sudarto telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sudarto dianggap menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan melalui akun media sosialnya berdasarkan surat Pemberitahuan dari Pemerintahan Nagari Sikabau yang berisi bahwa pemerintahan Nagari merasa keberatan/tidak memberikan izin pelaksanaan kegiatan Ibadah Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2020. Atas tindakannya tersebut, Sudarto dijerat Pasal 45 A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Atas penangkapan Sudarto tersebut, ICJR menyatakan hal berikut:
Pertama, penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap Sudarto adalah tidak tepat. Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian, yaitu guna mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu.
Dalam hal ini, Sudarto melayangkan kritikan dalam media sosialnya karena adanya dugaan pelarangan ibadah natal di Nagari Sikabau, bukan menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki, sehingga penerapan Pasal 28 ayat (2) terhadap Sudarto tidak tepat karena unsur “untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan” tidak terpenuhi.
Kedua, tindakan yang dilakukan kepolisian merupakan upaya pembungkaman kebebasan berekspresi, khususnya dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta merupakan bentuk kriminalisasi atas upaya Sudarto yang membela hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945. Untuk itu, ICJR meminta agar Polisi segera menghentikan proses hukum terhadap sudarto dan Jaksa mengevaluasi penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dalam tugas Jaksa sebagai dominus litis.
Komite HAM PBB dalam Komentar Umum No. 34 juga telah menjelaskan kondisi pembatasan kebebasan berekspresi, namun (pembatasan tersebut) tidak diperbolehkan untuk mendiskriminasi atau menentang satu atau beberapa agama atau sistem kepercayaan, atau penganutnya atas yang lain, kecuali dibatasi secara ketat untuk mencegah hasutan yang mengarah pada diskriminasi, permusuhan dan kekerasan (except if strictly limited to curtailing incitement to “discrimination, hostility or violence”).
Selain itu, mengingat urgensi revisi UU ITE karena memiliki rumusan tindak pidana yang sangat “lentur” dan meluas, sehingga menyebabkan penggunaan pasal-pasal di dalamnya menjadi tidak presisi dan bahkan eksesif oleh aparat penegak hukum, maka ICJR mendorong RUU revisi UU ITE untuk dapat dimasukan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020. Revisi UU ITE tersebut hendaknya juga memperhatikan hal berikut: Pertama, pemerintah harus menghapus seluruh pasal pidana yang duplikasi dan berpotensi overkriminalisasi. Selain itu agar tidak terjadi duplikasi berkelanjutan, perubahan UU ITE nanti pun harus sejalan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam RKUHP yang kini sedang dalam tahap pembahasan. Kedua, revisi UU ITE harus mengembalikan hal baik yang pernah dirumuskan oleh UU ITE 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus dengan izin dari pengadilan. Ketiga, revisi UU ITE harus memperjelas mekanisme pengaturan blocking dan filtering konten. Pada dasarnya ICJR memandang bahwa blocking dan filtering konten adalah kewenangan yang memang harus dimiliki oleh pemerintah, namun, batasan konten atau muatan internet yang dapat dibatasi, bagaimana prosedur pembatasannya, dan bagaimana mekanisme pemulihannya harus diatur dengan tegas dan jelas karena berhubungan dengan pembatasan hak asasi manusia.