Pengadilan Tinggi Medan melalui putusan Nomor 784/Pid/2018/PT MDN menolak permohonan banding Meiliana pada Kamis, 25 Oktober 2018. Majelis Hakim PT Medan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, PN Medan dengan menjatuhkan pidana 1 tahun dan 6 bulan pidana penjara. ICJR menyesalkan penolakan banding oleh Majelis Hakim PT Medan ini.
Sebelumnya, Meiliana dijerat dengan pasal ini karena mengutarakan keluhannya kepada tetangga berkaitan dengan volume pengeras suara masjid yang ada di kawasan kediamannya. Keluhan tersebut kemudian pada 2 Desember 2016 dilaporkan ke Kepolisian dan diproses secara pidana. PN Medan kemudian memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan kepada Meiliana.
Pernyataan majelis hakim PT Medan yang menguatkan putusan PN Medan yang menyatakan bahwa Meiliana terbukti telah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam Pasal 156A KUHPidana menurut pandangan ICJR telah menunjukkan bahwa pengadilan tidak secara cermat dan hati-hati dalam memeriksa unsur-unsur dalam Pasal 156A huruf a KUH Pidana. Pasal 156A huruf a KUH Pidana sendiri merupakan sebuah pasal karet karena unsurnya yang sangat kabur. Pasal 156A huruf a KUHP Pidana sendiri ini berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Dalam pasal ini, unsur “dengan sengaja” harus dibuktikan secara hati-hati karena pasal ini lah yang kemudian menunjukkan niat atau mens rea dari perbuatan seseorang yang menghendaki timbulnya “permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan agama”. Sebagai catatan, Unsur dengan sengaja dalam pasal merupakan kesengajaan dengan tujuan, sehingga niat untuk melakukan harus nyata-nyata ditujukan untuk perbuatan tersebut.
Berdasarkan Putusan PN dan pandangan ICJR melalui Amicus Curiae yang telah dikirimkan oleh ICJR kepada PT Medan, disampaikan bahwa unsur “dengan sengaja” ini secara substansi tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum dan Majelis Hakim dalam tingkat pertama, sebab keduanya membuktikan unsur ini dengan fakta bahwa Meiliana menyampaikan keluhannya kepada Saksi Kasini alias Kak UO, yang berdasarkan keterangan Meiliana adalah “kok besar kali suara di Masjid itu, dulu ga begitu” dan berdasarkan keterangan saksi Kasini alias Kak UO, “kak tolong bilang sm uak itu , kecilkan suara masjid itu kak, sakit kupingku, ribut”. Pernyataan tersebut menurut ICJR bukan merupakan pernyataan yang dengan sengaja disampaikan untuk memunculkan rasa permusuhan terhadap suatu agama tertentu yang dianut di Indonesia. Bahwa dalam konteks penafsiran pasal 156A huruf a haruslah dibuktikan bahwa Meiliana memiliki niat menyebarkan kebencian terkait suatu agama tertentu.
ICJR juga menilai bahwa Pengadilan Tinggi tidak menerapkan asas-asas pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus Meiliana. Dalam kasus ini, salah satu alat bukti yang digunakan untuk membuktikan unsur “penodaan agama” adalah Fatwa MUI. KUHAP sendiri mengenal adanya 5 (lima) alat bukti dalam sistem hukum pidana, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan juga keterangan terdakwa. Menurut pandangan ICJR, kedudukan Fatwa MUI dalam pembuktian kasus pidana tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kategori dari alat bukti tersebut. Fatwa MUI hanya bersifat mengikat bagi kelompok orang tertentu, dan bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat sebagaimana yang dikenal dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang ada pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Seharusnya yang dapat membuktikan apakah pernyataan Meiliana merupakan pernyataan yang “menodai agama” adalah ahli bahasa, yang mempelajari ilmu bahasa dan dapat mengetahui maksud dari suatu pernyataan verbal. Ahli lain yang dapat dihadirkan untuk membuktikan unsur ini adalah ahli psikologi yang dapat mengetahui niat batin dari Meiliana pada saat menyampaikan pernyataan tersebut kepada Saksi Kasini. Sehingga tidak tepat sebenarnya perbuatan majelis hakim yang menyatakan unsur “penodaan agama” terbukti hanya atas dasar Fatwa dari MUI.
Tidak hanya itu, dalam pembuktian Penuntut Umum juga mengajukan keterangan saksi yang mendengar dari orang lain bahwa Meiliana telah mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya melarang adzan. Saksi ini seharusnya tidak boleh dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, dikarenakan termasuk dalam kualifikasi saksi “hearsay”. Dalam prinsip hukum pidana, terdapat prinsip bahwa testimonium de auditu (kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain) tidak dapat diterima sebagai alat bukti keterangan saksi dikarenakan keterangan saksi menurut KUHAP didefinisikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Lebih dari pada itu, fakta ini menunjukkan tidak terbuktinya unsur “di muka umum” yang merupakan unsur penting dari Pasal 156A huruf a KUHP, tanpa ada saksi atau alat bukti yang menunjukkan perbuatan di lakukan di muka umum, maka meiliana tidak dapat dikatakan memenuhi unsur pidana.
Berdasarkan hal ini, ICJR kemudian merekomendasikan Mahkamah Agung yang selanjutnya akan memeriksa perkara apabila diajukan kasasi terhadap putusan ini, untuk membatalkan putusan PN Medan dan PT Medan yang jelas menunjukkan bahwa majelis hakim tidak menerapkan hukum dengan tepat dalam kasus ini.
———
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan