ICJR pada dasarnya tetap mengapresiasi hakim atas putusan mengurangi masa pidana Jerinx namun hal itu jauh dari cukup, hakim tingkat banding melewatkan kesempatan mengoreksi pertimbangan yang dapat berujung pada malapetaka di Indonesia, malapetaka itu adalah organisasi disamakan dengan golongan suku, agama dan ras, artinya setiap organisasi, khususya profesi bisa melaporkan adanya penghinaan atau ujaran kebencian pada mereka.
Pada 19 Januari 2021, Pengadilan Tinggi (PT) Bali meringankan hukuman I Gede Ari Astina alias Jerinx SID. Semula Jerinx divonis 14 bulan penjara, dan Pengadilan Tinggi Bali mengurangi masa tahanan Jerinx menjadi 10 bulan penjara. Hakim pengadilan tinggi Bali mengenai pengurangan hukuman Jerinx beralasan bahwa pemidanaan bukanlah bersifat pembalasan, dalam penjatuhan pidana/hukuman tidaklah dimaksudkan untuk melakukan balas dendam, akan tetapi lebih cenderung bersifat edukatif agar dengan tindakan penjatuhan hukuman nantinya pada diri terdakwa dalam menjalani dan selepas menjalani hukuman dapat mengambil hikmah untuk bisa membuat diri Terdakwa menjadi orang yang lebih baik.
ICJR mengamini argumen yang disampaikan bahwa hukum pidana memang tidak ditujukan untuk membalas dendam. Namun yang harus diperhatikan dalam kasus Jerinx, berdasarkan argumen hukum, keadilan serta hak asasi manusia, Jerinx tidak dapat dipidana dengan pasal yang digunakan dalam tuntutan penuntut umum.
Majelis Hakim di Pengadilan Negeri sebelumnya menyatakan Jerinx bersalah berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Dengan itu, maka Majelis Hakim menyepakati bahwa Jerinx tidak bersalah sesuai dakwaan pertama yaitu Pasal 27 ayat (3) atas perbuatan menghina IDI. Namun, Majelis Hakim justru memutus Jerinx bersalah menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian terhadap golongan dokter. Hal ini jelas merupakan kontradiksi, di satu sisi Majelis Hakim menyatakan tidak ada penghinaan terhadap IDI sebagai organisasi, namun Majelis Hakim sepakat adanya penyebaran kebencian antar golongan termasuk profesi dokter yang diwakili oleh IDI. Perlu diingatkan kembali bahwa pernyataan Jerinx ditujukan kepada IDI sebagai organisasi, yang memiliki dimensi kepentingan publik, jelas harus dipisahkan dengan perasaan personal dokter.
Majelis Hakim Pengadilan banding harusnya bisa melihat bahwa tidak tepat untuk menyatakan Organisasi Profesi sebagai “antargolongan” yang dilindungi oleh Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Menyamakan profesi dengan suku, agama dan Ras jelas merendahkan standar yang ingin dituju oleh pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 KUHP. Terlebih lagi, yang dikritik oleh terdakwa adalah IDI sebuah lembaga berbadan hukum yang tidak secara serta merta sama dengan golongan dokter pada umumnya. Putusan Hakim tingkat PN jelas berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia. Dengan kondisi ini, maka setiap lembaga profesi bisa melaporkan adanya penyebaran kebencian untuk mewakili profesi tertentu, lebih berbahaya, Hakim dalam kasus ini menyamakan profesi dengan suku, agama dan ras.
Harusnya jika argumen hakim pengadilan banding adalah mengenai keadilan, tidak ada alasan bagi Majelis Hakim tingkat banding untuk menguatkan putusan bersalah Jerinx di tingkat PN. Lebih mengecewakan, Hakim tingkat banding telah melewatkan kesempatan untuk mengoreksi pertimbangan hakim tingkat pertama yang dapat berujung pada malapetaka di Indonesia.
Putusan Banding bisa diunduh di sini