Senin, 8 Januari 2024, ini kasus Fatia-Haris memasuki sidang pembacaan putusan. Ada empat pasal yang didakwakan kepada Fatia Haris yaitu Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946, serta Pasal 310 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim menyatakan empat pasal ini tidak terbukti, sehingga Fatia-Haris harus diputus bebas.
Ini adalah putusan yang baik, karena Majelis Hakim memberikan pertimbangan yang menarik dalam konteks kebebasan berekspresi. Dengan merujuk pada SKB tentang Pedoman Implementasi UU ITE, sebuah analisis dan penilaian bukanlah suatu penghinaan atau pencemaran nama baik. Majelis menggunakan konsep ini di dalam putusannya dengan mempertimbangkan fakta bahwa Luhut Binsar Panjaitan memang merupakan pemilik saham dominan di PT Toba sehingga memiliki hubungan dengan perusahaan yang diperbincangkan Fatia-Haris dalam podcast. Fakta ini kemudian dipertimbangkan juga dalam unsur pasal dakwaan lainnya, tentang berita bohong dan kabar yang tidak pasti, Hakim telah mengamini bahwa memang terdapat keterlibatan Luhut Panjaitan dalam operasi perusahaan tersebut.
Namun, persidangan yang sampai dengan 32 kali ini tetap perlu menjadi catatan untuk evaluasi. Persidangan ini berlangsung lama dan menguras energi masing-masing pihak. Hal ini pada akhirnya tetap berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi. Ketakutan di masyarakat telah muncul, terlebih pun kondisi buruk demokrasi di Indonesia sudah dilaporkan berbagai pihak. Terlepas nantinya memang diputus bebas, proses persidangannya telah mengalihkan sebagian besar perhatian untuk kasus ini, dan kasus-kasus lain sejenis sayangnya berakhir berbeda dengan adanya kriminalisasi.
Ditambah lagi dalam konteks Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), putusan bebas atau pun bersalah untuk pihak yang diserang SLAPP, menjadi hal penting lainnya yang harus diperhatikan. Yang utama adalah, orang yang bersuara terkait kepentingan publik teralihkan tenaga dan perhatiannya ke proses kriminalisasi. Hal ini yang perlu menjadi catatan dalam sistem peradilan pidana khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi, bahwa upaya aktivisme apalagi kritik berbasis penelitian tak harus direspons dengan proses pidana.
ICJR juga mengingatkan bahwa, proses kriminalisasi ini tak lepas dari kebijakan hukum pidana khususnya dalam UU ITE yang tidak dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan prinsip negara demokratis. Perlu diingat juga bahwa masih ada orang-orang yang dalam proses kriminalisasi karena bersuara kritis demi kepentingan umum.
Sampai akhir 2023, masih terdapat korban-korban kriminalisasi UU ITE seperti Fatia-Haris. Beberapa di antaranya adalah Bintatar Sinaga, Septia Dwi Pertiwi, dan Daniel Frits M. Tankilisan. Bintatar Sianga ditetapkan sebagai tersangka kasus penghinaan sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 dan Pasal 310, 311, 315 KUHP karena kritikannya terhadap mantan pejabat suatu kampus. Digunakannya UU ITE dalam kasus ini menjadi janggal karena Bintatar menyampaikan kritikannya melalui orasi di muka umum, bahkan bukan melalui media sosial dalam lingkup digital.
Korban Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 lainnya, Septia Dwi Pertiwi, dilaporkan oleh atasannya dan ditetapkan sebagai tersangka karena mengeluhkan pengalaman kerjanya di kantor melalui media sosial. Kasus kriminalisasi aktivis dengan UU ITE lainnya juga menimpa Daniel Frits. Aktivis lingkungan Pulau Karimunjawa ini ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2016 tentang ujaran kebencian karena mengkritik tambak udang yang merusak lingkungan. Pada 7 Desember 2023, Daniel yang memenuhi kewajiban lapor ke Polres Jepara malah ditahan selama sehari. Kasus-kasus ini hanya sedikit dari banyaknya kasus kriminalisasi UU ITE lainnya yang kerap kali terjadi, dan menyerang ruang kritis masyarakat.
Dengan demikian, bebasnya Fatia-Haris menjadi secercah harapan. Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Fatia-Haris perlu menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus di atas serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kerja-kerja aparat penegak hukum, bahwa kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis.