Dalam putusan ini, MA jelas jelas tidak secara yakin menuliskan bahwa Ibu Nuril yang menyebarkan rekaman, bahkan MA menyebut orang lain yang telah melakukan itu. Hanya atas dasar itu, harusnya MA memperkuat putusan PN Mataram untuk membebaskan Ibu Nuril.
MA akhirnya memberikan salinan putusan kasasi dalam kasus Baiq Nuril Maknun (Ibu Nuril). Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ibu Nuril diputus bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 (1) UU ITE yakni “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya suatu informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan” oleh MA di tingkat kasasi dan dijatuhi pidana penjara selama 6 bulan dan denda 500 juta. Dalam putusan kasasi ini, ICJR mencatat beberapa hal yang kemudian patut diperhatikan, sebab hal-hal ini kemudian menjadikan putusan kasasi Ibu Nuril ini janggal karena terlampau banyak mengandung kecacatan.
Pertama, dalam putusan ini MA jelas telah melampaui kewenangannya sebagai judex juris dan justru menempatkan dirinya sebagai judex factie. Di dalam pertimbangannya, MA menyampaikan adanya pertimbangan hukum PN Mataram yang salah karena tidak berdasarkan pada fakta hukum yang relevan serta tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di muka sidang.
MA kemudian merumuskan kembali fakta-fakta persidangan yang di dalamnya terdapat beberapa poin yang jelas-jelas berbeda dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan dan MA mendasarkannya pada asumsi. Beberapa poin tersebut diantaranya adalah bahwa MA kemudian dalam putusannya menyatakan “Terdakwa bersedia menyerahkan rekaman percakapan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut ….. dan dipindahkannya atau ditransfernya isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa tersebut ke laptop milik Terdakwa”. Padahal, dalam putusan PN Mataram sudah terbukti fakta:
- Bahwa yang diserahkan kepada HIM adalah handphone milik Ibu Nuril dan bukan rekamannya
- Bahwa yang memindahkan atau mentransfer isi rekaman pembicaraan adalah Saksi HIM bukan Ibu Nuril
- Bahwa rekaman pembicaraan tersebut dipindahkan ke laptop milik HIM bukan laptop milik Ibu Nuril
Kedua, MA dalam putusannya justru tidak menemukan permasalahan hukum yang ada di dalam kasus ini dan tidak sama sekali menjawab permasalahan hukum yang ada di dalam putusan PN Mataram, yakni apakah dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum dapat diterapkan kepada Ibu Nuril, sebab alat bukti elektronik yang mendasari pembuatan dakwaan tersebut dinyatakan tidak valid. Sama sekali tidak terlihat di dalam putusan kasasi ini, adanya pertimbangan Majelis Hakim mengenai hal ini. MA justru mengabaikan permasalahan alat bukti yang krusial ini, sebab dalam sistem peradilan pidana, pembuktian merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Ketiga, MA gagal melihat fakta bahwa Ibu Nuril adalah korban kekerasan seksual yang ingin mempergunakan rekaman pembicaraan dirinya dengan M untuk tujuan pelaporan kepada DPRD dan Dinas Pendidikan. Padahal, fakta bahwa Ibu Nuril merupakan seorang korban jelas terdapat pada fakta hukum yang diungkapkan oleh MA, di PN Mataram pun, hal ini sudah disampaikan oleh Ahli dari Komnas Perempuan. Namun, tidak ada sama sekali pertimbangan Majelis Hakim terkait dengan hal ini. Majelis Hakim justru menyatakan dalam pertimbangannya bahwa seharusnya Ibu Nuril memiliki kesadaran bahwa “dengan dikirimnya dan dipindahkannya atau ditransfernya isi rekaman pembicaraan yang ada di handphone milik Terdakwa ke laptop besar kemungkinan atau dapat dipastikan atau setidak-tidaknya HIM akan dapat mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya rekaman”.
Keempat, MA menyebutkan yang mentransmisikan isi rekaman bukan Ibu Nuril tapi Saksi Haji Imam Mudawin. Dalam fakta hukum yang dirangkai oleh MA sendiri, MA bahkan sudah menyebutkan bahwa “Saksi Haji Imam Mudawin telah meneruskan, mengirimkan dan/atau mentransferkan isi rekaman pembicaraan yang melanggar kesusilaan tersebut kepada saksi Muhajidin, kemudian oleh Saksi Muhajidin mengirim, mendistribuksikan lagi isi rekaman pembicaraan tersebut ke handphone milik Muhalim dan demikian seterusnya ke handphone Lalu Wirebakti, Hj. Indah Deporwati, Sukrian, Haji Isin, dan Hanafi”. Artinya, MA sendiri sebenarnya sudah mengetahui bahwa yang melakukan perbuatan dalam pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum adalah Saksi Haji Imam Mudawin dan Saksi Muhajidin, bukan Baiq Nuril Maknun.
Kelima, MA gagal menjelaskan unsur “dalam sebuah sistem elektronik”. Pasal 27 (1) UU ITE mengatur bahwa seluruh perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan harus dilakukan dalam sebuah sistem elektronik, sehingga apabila perbuatan itu dilakukan dalam kondisi tidak melalui sistem elektronik maka perbuatan itu tidak terbukti memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Tindakan memberikan handphone bukan merupakan tindakan yang dilakukan di dalam sebuah sistem elektronik, sehingga tidak bisa perbuatan tersebut dikatakan mencocoki rumusan pasal 27 (1).
Putusan Mahkamah Agung dapat diakses disini
–
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan. Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabel