Sejak terjadinya kasus Bom Bali I, Bom Marriot dan Bom Bali II, respon Indonesia dalam melawan terorisme meningkat secara drastis dengan dilahirkannya Perpu Terorisme yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menetapkan perpu No 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan terorime menjadi Undang-Undang; serta sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebutkemudian disusun Peraturan pemerintah No 24 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, penyidik, penuntut Umum dan hakim dalam perkara Tindak Pidana terhadap Korban. Namun respon terhadap terorisme melulu lebih berarah kepada bagaimana mengadili dan menangkap dan mencegah pelaku terorisme, sedangkan perhatian kepada korbannya cenderung minim
Bagaimana respon Indonesia terhadap korban terorisme bisa dilihat dari minimnya dasar regulasi bagi penanganan mereka. Baik dalam UU Nomor 15 tahun 2003 maupun PP No 24 Tahun 2003, perhatian dan penanganan kepada korban terorisme hanya mengatur mengenai ketentuan hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diberikan kepada setiap korban atau ahli waris akibat tindak pidana terorisme, dimana pembiayaan atas pembayaran kompensasi dan restitusi ini dibebankan kepada Negara yang dilaksanakan oleh pemerintah. Namun sampai saat ini tidak ada peraturan pelaksanaanya, minimnya cakupan regulasi yang mengakibatkan hambatan ketika dipraktekkan.Demikian juga dalam PP No 24 tahun 2003, praktis penanganan perlindungan hanya diberikan bagi korban terorisme yang berstatus saksi.
No | Materi Perubahan RUU Pemberantasan terorisme 2016 |
1 | jangka waktu penahanan terduga teroris, limit waktunya ditambah, dari enam bulan menjadi sepuluh bulan |
2 | kewenangan penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yang sebelumnya tujuh hari menjadi 30 hari |
3 | penyadapan yang sebelumnya berdasarkan izin perintah Ketua Pengadilan Negeri (PN) menjadi hakim pengadilan |
4 | penuntutan dan pengusutan tidak hanya kepada orang perorang namun juga kepada korporasi |
5 | perluasan tindak pidana terorisme yaitu terhadap perbuatan: mempersiapkan, pemufakatan jahat, percobaan terorisme, dan pembantuan tindak pidana terorisme |
6 | pencabutan paspor bagi Warga Negara Indonesia yang ikut pelatihan militer di luar negeri, termasuk di dalamnya negara atau organisasi-organisasi yang melakukan perbuatan teror |
7 | pengawasan terhadap pelaku teror selama enam bulan namun pengawasan terpidana terorisme yang sudah selesai ditindak lanjuti paling lama setahun setelah bebas (pengawasan resmi untuk pembinaan dan program deradikalisasi) |
8 | rehabilitasi yang holistik dan komprehensif bagi napi teroris |
Rehabilitasi medis dan psikis
Untuk rehabilitasi medis dan psikis banyak korban yang belum tertangani dengan baik. Masalah administrasi dan birokrasi rumah sakit termasuk pula beban biaya rumah sakit bagi para korban Pemerintah Indonesia dalam beberapa kasus tersebut terlihat lebih banyak memberikan bantuan medis di awal-awal kejadian dan pemberian santunan yang belum merata Setelah itu pemerintah cenderung lepas tangan dengan kondisi korban. Menurut pemerintah sendiri, berdasarkan peraturan yang ada, penangan medis bagi korban terorisme menggunakan dasar hukum sama dengan undang-undang bencana yang mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada korban di RS. Kepmenkes 145/ Menkes/ SK/I/ tahun 2007 tentang pedoman penanggulangan bencana bidang kesehatan. Yang tidak secara khusus bagi penanganan korban, namun dapat digunakan bagi penanganan media korban terorisme yang bersifat gawat darurat dan kedaruratan. Dengan dasar itulah maka semua korban terorisme adalah tanggungjawab pemerintah, namun dalam prakteknya diakui pemerintah memiliki banyak kendala
Bantuan sosial bagi korban
Sedangkan mengenai bantuan sosial bagi korban ini yang masih menjadi harapan bagi banyak korban karena berdasarkan praktek ini justru yang yang sangat minim dilakukan. Peran pemerintah lewat Peran Kemensos Khusus korban bom kemarin pemerintah hanya mengelurkan uang tunai dengan ketentuan khusus; dimana Pemda yang akan mengajukan ke Kemnsos semacam proposal untuk dikeluarkan bantuan khusus dengan besaran yang meninggal sebesar 2 juta perorang dan korban cacat tetap/permanen 2 sampai 5 juta. Jumlah yang cukup minim dibandingkan kerugian dan harapan dari korban. Dalam prakteknya santunan ini tidak diberikan secara merata ke seluruh korban yang ada. Disamping prosedur dan mekanismenya juga tidak banyak diketahui, apakah Korban yang mendapatkan bantuan itu harus mengajukan sendiri ataukah inisitif depsos yang seharusnya aktif melakukan pendataan? Apakah hal ini juga dilakukan didaerah? Bagaiman pula batuan korban terorisme yang belakangan mau meminta dukungan social, apakah masih bisa dilayani dan bagaimana caranya?Hal-hal inilah tidak banyak diketahui oleh korban.
Ganti rugi bagi korban terorisme
Masalah ganti rugi bagi korban terorisme oleh negara, kompensasi atau melalui prosedur restitusi (ganti rugi oleh pelaku) dalam prakteknya juga menjadi kendala, seperti yang telah di sampaikan di atas, dimana peraturan yang ada tidak cukup mampu merespon kebutuhan korban atas kompensasi dan restitusi. Disamping itu prosedur permohonan restitusi (tidak ada pelaku yang mau mmberikan restitusi kepada korban) maupun kompensasi dianggap sulit dan sangat jarang korban dapat mengakses prosedur secara gampang. (bahkan harus melalui upaya pengadilan ).
Perlu di perhatikan bahwa rezim hukum pemberian restitusi dan kompensasi bagi korban di Indonesia lebih banyak ditujukan bagi ganti rugi yang bersifat material, yakni kerugian yang faktual berdasarkan bukti-bukti yang dapat disediakan oleh korban. Misalnya biaya pengobatan atau perawatan medis, biaya pemakaman yang dilampirkan dengan bukti pengeluaran, kwitansi dll. Sehingga tidak mencakup ganti rugi immaterial misalnya kerugian akibat kecacatan tubuh atau pendapat yang hilang karena sakit atau pendapat hilang karena tidak bisa bekerja karena cacat tubuh atau perubahan fungsi tubuh. Memang dalam kasus Bom Marriot, PN Jakarta selatan telah membuat terobosan dengan memberikan kompensasi yang bervariasi kepada korban, hakim memutuskan pemberian kompensasi bagi korban tewas masing-masing disantuni sebesar Rp 10 juta. Sedangkan uang kompensasi untuk korban luka parah masing-masing senilai Rp 5 juta dan Rp 2,5 juta untuk luka ringan. Sungguh jumlah yang sedikit dalam prakteknya hal tersebut tidak di diberikan kepada seluruh korban.
UU No 31 tahun 2014 masih terbatas
Untuk mengisi kekosongan pemulihan bagi korban, untungnya secara terbatas dalam UU No 31 tahun 2014 yang merevisi UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, telah mencantumkannya bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis (Pasal 6) , termasuk kompensasi (Pasal 7). Namun regulasi ini masih harus di uji implementasinya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Bahkan untuk kompensasi korban, regulasi ini justru menghambat hak korban untuk mendapat kompensasi secara cepa karena harus melalui dan menunggu putusan pengadilan. Kasus penyerangan Sarinah, Januari 2016 bisa kita jadikan contoh terbaru bagaimana penanganan korban dilakukan berdasarkan regulasi ini.
Namun secara umum pemenuhan hak-hak korban terorisme masih jauh dari harapan. Oleh karena itulah maka perubahan UU terorisme yang saat ini yang di dorong oleh pemerintahan Jokowi ke DPR harusnya secara khusus memperbaik masalah-masalah hak reparasi bagi korban. Naskah RUU justru tidak memasukkan rehabilitasi komprehensif bagi korban, RUU justru memberikan rehabilitasi kompehensif bagi para pelaku, ini sungguh tidak fair. Tanpa memperbaiki hal tersebut RUU terorisme yang akan di bahas di DPR murni hanya demi kebutuhan institusi negara melawan terorisme tanpa memikirkan para korbannya.