PRESS RELEASE
DIPONEGORO CENTER FOR CRIMINAL LAW
INSTITUTE FOR CRIMINAL JUSTICE REFORM
SKB UU ITE: APA KATA PEMERINTAH, AHLI, PENELITI DAN JURNALIS?
Kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Rumusan ketentuan pidana dalam UU ITE dipandang banyak mengandung “pasal karet”, “membarangus kebebasan berpendapat” dan “pedang” melawan kritikus pemerintah. Pasal-pasal yang bermasalah tersebut antara lain Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 ayat (2a) dan ayat (2b), dan Pasal 45 ayat (3). Berbagai pihak yang telah menjadi korban atas penggunaan pasal karet diantaranya Prita Mulyasari, Muhammad Arsyad, Ervani Handayani, Florence Sihombing, Fadli Rahim, Baig Nuril dan lain sebagainya.
Problem besar yang ditimbulkan oleh kebijakan formulasi UU ITE disadari oleh pemerintah terbukti dengan adanya usaha memperbaikinya dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan pada tanggal 23 Juni 2021, Pemerintah menetapkan “Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi aats Pasal Tertentu dalam Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (SKB UU ITE).
Pasca terbitnya SKB banyak bermunculan pro-kontra terhadap subtansinya, pengaturannya, dan tidak sedikit yang telah berprasangka (prejudice) bahwa SKB tersebut bukanlah jalan penyelesaian terbaik atas permasalahan yang selama ini terjadi. Webinar dengan tema “SKB UU ITE: Solusi atau Ilusi” yang diadakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Diponegoro Center for Criminal Law (DECRIM IKA FH Undip) , pada 29 Juni 2021 berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan besar terkait SKB tersebut.
Mengawali diskusi terhadap SKB, Leopold Sudaryono, Ketua DECRIM IKAFH Undip menyampaikan salah satu unsur penting dari tegaknya demokrasi adalah jaminan kebebasan berspkeresi termasuk melalui sarana teknologi informasi. Selain itu, dalam negara hukum terdapat prinsip penting yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (legal certainty) dari pengaturan hukum. Dua prinsip penting ini (prinsip kebebasan berspkeresi dan prinsip kepastian hukum) yang diraskan digoyahkan oleh kehadiran dan penerapan UU ITE yang multitafsir dan memakan banyak korban.
Teguh Arifiyadi selaku Plt. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia menjelaskan perihal landasan historis dan filosofis lahirnya SKB tersebut. Prinsipnya, ada desakan perlunya memperbaiki penyalahgunaan pemanfaatan tindak pidana ITE. Desakan tersebut bukan hanya dari para NGO melainkan juga dari internal pemerintah. Pemerintah mengakui rumitnya dalam membuat rumusan yang tepat dalam pengaturan ITE. Untuk itu, pemerintah berupaya terbuka menerima masukan untuk menyiapkan rumusan yang tepat dalam pengaturan ITE. SKB disusun berdasarkan kajian yang disusun oleh tim internal yang ada di Kominfo dan Menkopolhukam. Hasil kajian tersebut menghasilkan rekomendasi pertama, revisi UU ITE, namun setelah dilakukan diskusi panjang, ini menjadi opsi jangka panjang. Mengingat waktu yang dihabiskan pada saat membentuk UU ITE dan merevisinya. Kedua, SKB menjadi opsi yang dipilih. SKB titik tengah pertemuan antar beberapa kepentingan. Masukan dari berbagai pihak, yang kemudian dirangkum, dibahas dan disepakati. Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam SKB baik dari segi tata bahasa, kalimat dan substansinya.
Selanjutnya, Lita Tyesta ALW ahli ilmu perundang-undangan dari Universitas Diponegoro menegaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan adalah pedoman baku dalam menyusun peraturan perundang-undangan (UU PUU). Persoalannya, apakah SKB peraturan perundang-undangan. SKB bukan peraturan perundang-undangan (regeling) karena secara eksplisit tidak tercantum dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) maupun Pasal 8 ayat (1) UU PUU. Seharusnya, kalau mau memperbaiki implementasi UU ITE, harusnya diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Ada lompatan yang sangat jauh dari Undang-Undang ke SKB. SKB memang memiliki manfaat, namun ini adalah kemanfaatan yang mendobrak.
Dari sudut kebijakan hukum pidana, Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A. T. Napitupulu tegas mengatakan Hukum pidana harus mudah dipahami oleh penegak hukum dan masyarakat. SKB mengatur suatu muatan yang harusnya diatur dalam UU. Kami berharap ini (SKB) menjadi masa transisi. Ini jangan jadi kebiasaan, kalau ada masalah harusnya direvisi bukan dibuat dalam pedoman. Namun demikian Pedoman 27 ayat (3) dan (4) yang ada dalam SKB patut diapresiasi.
Terakhir, Sekretaris Jenderal AJI, Ika Ningtyas mencatat dalam UU ITE ada 3 (tiga) pasal yang secara langsung mengancam kebebasan pers Pasal 27 ayat (3), 28 ayat (2) dan 40 ayat (2b). Pasal tersebut mengatur tentang Defamasi, Ujaran Kebencian dan Pemutusan Akses. Dalam perjalannya, sejumlah kasus yang terjadi dalam kaitannya dengan kerja jurnalistik diantaranya menimpa jurnalis Sugiyono (2017), Zakki Amali (2018), Diananta dan Sadli (2020). Kami melihat penyebab terjadinya kriminalisasi tersebut disebabkan diantaranya karena ketidakpahaman narasumber dan aparat terhadap UU Pers, khususnya mekansime sengketa pers, tidak tersosialisasikan MoU Polri dan Dewan pers untuk penangangan sengketa pers, motif untuk membungkam media dan jurnalis, rumusan karet pasal-pasal UU ITE, celah hukum perlindungan jurnalis antara perusahaan berbadan hukum dan non-badan hukum dan celah hukum perlindungan pada berita yang didistribusikan di media sosial. Selanjutnya, AJI melihat salah satu prospek SKB UU ITE yakni SKB sudah memuat pengecualian Pasal 27 ayat (3) untuk pers. Akan tetapi, tidak ada untuk Pasal 28 ayat (2). Potensinya tetap bisa menjerat kebebaan pers dengan Pasal 28 ayat (2) dan mengancam kebebasan berskperesi jurnalis yang memuat tulisan di internet.
Menutup Press Release ini DECRIM dan ICJR merekomendasikan 3 (tiga) hal antara lain:
- SKB ini harus menjadi langkah sementara untuk mengatasi carut-marut penegakan hukum yang ditimbulkan oleh rumusan norma pidana UU ITE yang multitafsir;
- Sambil menunggu revisi UU ITE, aparat penegak hukum harus mempelajari SKB dengan sebaik-baiknya; dan
- Mengadakan kajian yang komprehensif terhadap ketentuan pidana dalam UU ITE. Kajian tersebut harus melibatkan berbagai elemen, memperhatikan pendekatan nilai, pendekatan berbasis bukti, dan pendekatan berbasis muldisiplin ilmu agar menghasilkan rekomendasi perubahan yang baik bagi kebijakan formulasi ketentuan pidana UU ITE dimasa yang akan datang. Hal ini semata untuk memenuhi prinsip bahwa kebijakan formulasi ketentuan pidana harus memberikan pedoman yang jelas bagi aparat penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan hakim.
Demikain Press Release ini disusun. Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
Direktur ICJR Ketua DECRIM
Erasmus A.T. Napitupulu Leopold S, S.H., LL.M., Ph.D. (Cand.)