Sekalipun RKUHP tidak dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021, perkembangan pembahasan yang pernah dilakukan harus tetap dilaporkan ke publik, methode perubahan KUHP juga harus dipertimbangkan ulang agar lebih realistis, Pemerintah harus mempertimbangkan kembali ide penyusunan peta jalan (roadmap) reformasi kebijakan hukum pidana di Indonesia untuk kejelasan agenda reformasi hukum pidana, dan pembentukan komite ahli dengan keanggotaan yang luas, tidak hanya ahli hukum pidana, untuk pembahasan substansi RKUHP guna menjamin adanya evaluasi komprehensif berbasis data.
Pada Rapat Baleg DPR RI yang diselenggarakan Senin 23 November 2019, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan pemerintah mengusulkan tiga rancangan undang-undang (RUU) tidak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, diantaranya adalah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan (PAS), serta RUU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menkumham Yasonna mengajak semua pihak agar memperkuat komitmen dalam mewujudkan penyusunan Prolegnas Prioritas 2021 yang realistis, simpel, dan responsif sebagai instrumen perencanaan dalam pembentukan undang-undang. Atas usulan ini ICJR memberikan 3 catatan:
Pertama, usulan Pemerintah ini jangan sampai diartikan proses pembahasan yang pernah dilakukan tidak dilaporkan kepada publik. Sejak September 2019, sepanjang 2020 pihak pemerintah yang juga melibatkan perwakilan DPR beberapa kali melakukan pembahasan substansi RKUHP, namun catatan rapat terkait dengan kegiatan ini sama sekali tidak tersedia, perkembangan draft sejak September 2019 juga sulit didapatkan masyarakat sipil. Maka, seharusnya perkembangan sepanjang 2020 harus tetap dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah dan DPR.
Kedua, pengusulan dikeluarkannya RKUHP dari Prolegnas Prioritas 2021 ini harus dijadikan momentum dan refleksi baik bagi Pemerintah dan DPR dalam mengusulkan dan merumuskan reformasi di bidang hukum pidana. Tujuannya memang dalam rangka menjaring semua aspirasi masyarakat terkait dengan RKUHP, tapi harus dipastikan upaya tersebut tidak hanya dilakukan dalam rangka sosialisasi RKUHP yang tidak membuka ruang perubahan substansial RKUHP. Harus diingat kembali, RKUHP ditunda pengesahannya karena masalah substansi, maka pembahasan selanjutnya harus membuka ruang untuk perubahan substansial RKUHP.
Ketiga, Selain substansi tentunya, RKUHP juga punya masalah mengenai methode perubahan UU berwujud rancangan UU yang sepenuhnya baru dalam hal ini RKUHP, yang secara struktur dan substansi sebetulnya tidak terlalu banyak berubah dari KUHP saat ini, sehingga evaluasi mengenai methode perubahan juga harus dilakukan, agar pembaruan KUHP bisa lebih realistis dilakukan. Perubahan KUHP bisa dilakukan secara bertahap, misalnya, dilakukan terhadap buku I terlebih dahulu untuk menghindarkan banyaknya polemik pembahasan di buku II yang mengatur masalah tindak pidana.
Keempat, ICJR juga mendorong agar pemerintah membentuk Komite Ahli dengan keanggotaan yang luas, tidak hanya ahli hukum pidana, untuk kembali membahas RKUHP dan rancangan UU terkait reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Komite Ahli tersebut ditugaskan untuk membantu Pemerintah dan DPR menguatkan pembahasan RKUHP dengan data dan evaluasi terhadap implementasi penggunaan hukum pidana di Indonesia berbasis bukti dengan multi perspektif dan disiplin ilmu, ICJR menilai RKUHP selama ini belum sepenuhnya lahir dari evaluasi komprehensif berbasis data.
Kelima, Momentum ini juga seharusnya dapat dijadikan oleh Pemerintah untuk merancang ulang ide pembaharuan hukum pidana di Indonesia. RKUHP sebelumnya belum disusun berdasarkan evaluasi kebijakan yang memadai yang memperhatikan upaya pembangunan dan keselarasan dengan kebijakan lain, maka untuk mendukung evaluasi tersebut, Pemerintah perlu menyusun peta jalan (roadmap) Reformasi Kebijakan Hukum Pidana dan Reformasi Kebijakan Sistem Peradilan Pidana. Peta jalan (roadmap) reformasi kebijakan pidana paling tidak berisikan: 1) Langkah reformasi hukum pidana yang bertumpu pada perlindungan HAM, kebebasan sipil dan politik, humanis dan demokratis; dan 2) Langkah reformasi kebijakan sistem peradilan pidana yang yang akuntabel, terbuka, integratif, dan menjamin penguatan hak tersangka, terdakwa, saksi, dan korban dalam hukum acara pidana ke depan.
Roadmap ini diharapkan dapat menjadi acuan Pemerintah melakukan reformasi kebijakan pidana, termasuk antara lain pembentukan hukum pidana yang sesuai dengan jaminan perlindungan HAM dan kebebasan sipil berdasarkan prinsip dan jaminan HAM internasional, penekanan kejelasan tujuan dan rumusan tindak pidana agar tidak lagi menekankan pada tujuan pemidanaan yang retributif dan berfokus pada pidana penjara, mewujudkan Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang mencerminkan keterpaduan antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang, memberikan fokus lebih dan perlindungan terhadap korban tindak pidana.