JAKARTA, KOMPAS.com – Praktisi hukum Ifdhal Kasim mengatakan para tahanan yang ditempatkan di sebuah rumah tahanan kerap menjadi objek kekerasan baik secara fisik maupun psikis. Menurutnya, aksi kekerasan tersebut tidak terlepas dari minimnya jumlah rumah tahanan yang ada.
“Seharusnya rumah tahanan negara harus tersebar di setiap kabupaten/kota, atau minimal untuk setiap wilayah yang ada polresnya memiliki rutan sendiri,” kata Ifdhal, seusai diskusi “Persoalan Kunci dalam Penahanan Pra Persidangan di Rancangan KUHAP”, di Kafe Tjikini, Jakarta Pusat, Senin (8/4/2013).
Ifdhal mengatakan, saat ini jumlah rutan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia hanya berjumlah 439 unit saja. Dari jumlah tersebut, seharusnya kapasitas maksimal tahanan yang dapat ditampung hanya 102.466 orang.
“Namun, dalam kenyataanya, per 25 Desember 2012 jumlah tahanan yang berada di dalam rutan dan lapas mencapai angka 152.071 orang. Artinya sudah terjadi over kapasitas disini,” katanya.
Jumlah itu, katanya, seharusnya dapat dikurangi jika tahanan yang masih berstatus tersangka tidak perlu ditahan di rutan. “Mereka kan masih dalam tahap pra peradilan, seharusnya tidak perlu mereka ditahan,” kata Ifdhal
Seharusnya, status tahanan rutan bagi seseorang yang masih berstatus tersangka, kata anggota Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Toto Yulianto, dapat diganti dengan menjadi tahanan kota atau tahanan rumah.
“Itu mampu meminimalisir angka kekerasan terhadap tahanan, khususnya bagi tahanan penyidik kepolisian,” ujarnya.
Sumber: Kompas.com