Dalam Segmen menjawab pertanyaan panelis pada Debat Capres Perdana 12 Desember 2023, Capres nomor urut 3 mendapat pertanyaan dengan tema pemberantasan korupsi, tentang terobosan untuk menimbulkan efek jera korupsi serta penyelamatan aset negara. Capres no. 3 merekomendasikan pemiskinan para pelaku korupsi, mendorong RUU perampasan aset, mengirim para koruptor ke Nusakambangan, mendorong meritokrasi untuk menghindarkan dari jual beli jabatan, ia juga membicarakan data ICW soal kerugian negara mencapai 230 triliun dalam 10 tahun terakhir, dan juga membahas pentingnya teladan seorang pemimpin.
Capres no. 1 menanggapi dengan koruptor harus dijerakan dengan UU perampasan aset dan pemiskinan, serta perlu merevisi UU KPK sehingga menjadi kuat kembali, dan memberikan reward kepada pelapor, serta menjaga standar etika Pimpinan KPK. Tanggapan Capres no. 2 setuju terhadap Capres no. 3 serta perlu adanya penguatan terhadap jaksa, kepolisian, serta badan-badan pengawasan yang membantu dalam mitigasi korupsi. Capres no. 3 menanggapi bahwa hakikatnya komitmen ketiga calon sama, sehingga ini menjadi janji politik kepada rakyat.
Selanjutnya pada tema hukum, Capres no. 2 mendapat pertanyaan mengenai strategi menjaga independensi kekuasaan kehakiman. Capres no.2 membicarakan tentang ide mensejahterakan hakim dan aparat penegak hukum. Lalu ditanggapi oleh Capres no.1 mengenai pendapat Capres no.2 tentang putusan MK persoalan batas usia Capres dan/ Cawapres yang memuat pelanggaran etika, namun pertanyaan ini tidak direspon oleh Capres 2 dengan serius.
ICJR menilai bahwa dari pembahasan para Capres dalam debat tersebut ketika membahas pemberantasan korupsi dan independensi aparat penegak hukum dan kekuasaan kehakiman, belum menyinggung secara mendalam persoalan akuntabilitas sebagai akar dari korupsi di pengadilan.
Ketiga calon tersebut belum berhasil mengidentifikasi masalah sistem peradilan pidana karena hukum acara utamanya penyidikan yang dibangun secara tidak akuntabel. Dalam menjamin aparat penegak hukum bebas dari korupsi, maka perlu dipastikan bahwa peradilan pidana berjalan dengan akuntabel. Namun saat ini peradilan pidana dijalankan APH tidak akuntabel, hal ini disebabkan penyelidikan tidak terpantau oleh pengawasan jaksa maupun hakim, terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia baik kepada orang yang diproses peradilan pidana maupun korban tindak pidana. Kurangnya akuntabilitas dalam peradilan pidana menyebabkan Penyidikan dijalankan dengan adanya politisasi dan korupsi. Seperti yang terjadi depan mata kita semua, politisasi juga terjadi pada kekuasaan kehakiman.
Sayang seribu sayang, para Capres lantang bicara soal korupsi, tapi luput bicara bagaimana menghadirkan sistem peradilan pidana yang akuntabel dengan pengawasan judicial yang independen dan berjenjang.
ICJR kembali menyerukan untuk menjamin sistem peradilan pidana yang akuntabel, maka Pemerintah baru perlu:
- Menjamin pemenuhan HAM dalam setiap proses peradilan pidana yang diawasi oleh judicial scrutiny, termasuk jaminan HAM yang lebih ketat bagi tersangka dan terdakwa pidana mati.
- Revisi KUHAP yang menjamin pengawasan secara berjenjang, dari penyidikan oleh Polisi, Jaksa, hingga otoritas judisial.
- Menguatkan peran advokat untuk mendampingi siapapun yang berhadapan dengan negara dalam proses peradilan pidana
Jakarta, 13 Desember 2023
ICJR