Delapan dari 50 RUU terkait Pidana di Prolegnas 2018 Harus Diawasi dan Dikawal. Selain ada situasi overkriminalisasi, ICJR merekomendasikan agar pasal-pasal pidana yang bersifat karet tidak layak diatur. Selain itu, Pemerintah dan DPR juga harus memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam hal penggunaan instrumen pidana serta pengaturan mengenai hukum acara pidana dalam Implementasi Prolegnas 2018
Rapat paripurna DPR pada Selasa 5 Desember 2017 dibuka dengan laporan 50 RUU yang masuk dalam Prolegnas prioritas 2017. Dari 50 RUU yang diajukan, 47 RUU merupakan limpahan dari prolegnas 2017. Dari jumlah ini, DPR merupakan pihak yang paling banyak mengajukan usulan prolegnas yaitu dengan 31 RUU, sedangkan 16 RUU dari pemerintah, dan 3 RUU merupakan usulan DPD.
Dari 50 RUU tersebut, Institute for CriminaI Justice Reform (ICJR) memberikan perhatian kepada 8 (delapan) RUU terkait kebijakan kriminal yang menjadi prioritas pada 2018 ini. ICJR menilai kedelapan RUU ini layak untuk diperhatikan dan diawasi dengan serius, kedelapan RUU ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan reformasi hukum pidana dan hukum acara pidana yang sangat berhubungan dengan hak asasi warga negara Indonesia. Kedelapan RUU itu adalah :
- RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
- RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
- RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
- RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol/Minol.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
- RUU tentang Penyadapan.
- RUU tentang Narkotika dan Psikotropika, dalam Prolegnas 2015-2019 tertulis: RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Secara umum ICJR menyambut baik hasil Prolegnas 2018, namun ICJR juga mengingatkan bahwa momentum penyusunan dan pembahasan RUU kedepannya akan mengalami banyak kendala serius terutama terkait situasi menjelang persiapan pemilihan umum. Akan banyak halangan terutama bagi DPR untuk menyelesaikan RUU tepat waktu dengan subtansi yang baik.
Dalam 8 RUU diatas, ada 4 RUU yang masih proses pembahasan di DPR yakni:
- RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP
- RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
- RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol/Minol.
- RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Berdasarkan monitoring ICJR di tahun 2015-2016 Proses pembahasan atas 4 RUU tersebut masih mendapat tantangan karena pembahasan RUU yang berlarut-larut. Pembahasan terberat tentunya ada di R KUHP dengan jumlah Pasal 786. Rancangan ini memang membutuhkan tenaga ekstra bagi DPR. Namun di sisi lain pembahasan RUU Terorisme yang materinya jauh lebih sedikit justru sering molor dari rencana. Sedangkan RUU Minol yang sedari awal adalah RUU yang didorong DPR sendiri justru tidak ada progress yang cukup baik dan yang terakhir RUU Penanggulangan Kekrasan Seksual yang baru masuk dalam tahap pembahasan Tingkat 1 di DPR. Intinya DPR harus secara serius membagi waktu dan energinya untuk melakukan pembahasan secara serius untuk memenuhi target prolegnas.
ICJR juga mengritik keras sikap DPR yang masih melakukan pembahasan secara tertututup tanpa bisa di akses publik. Ada banyak pembahasan RUU yang sangat penting untuk dipublikasi ternyata tanpa alasan jelas sengaja dibahas secara tertutup oleh DPR. Terlalu banyak pembahasan RUU yang rahasia akan mengancam transparansi dan partisipasi masyarakat.
Terkait kedelapan RUU terkait kebijakan criminal yang masuk prolegnas 2018 , ICJR memiliki beberapa catatan penting, yaitu ;
Pertama, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. RUU KUHP sudah memasuki tahapan akhir pembahasan di DPR, saat ini posisi terakhir RUU berdasarkan hasil pemantauan ICJR dan Aliansi Nasional KUHP ada dalam tahapan proofreader (pembacaan akhir) yang akan dilanjutkan pada finalisasi rumusan oleh Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Tim Sinkronisasi). Sampai dengan saat ini masih banyak potensi overkriminalisasi dari RKUHP dan belum disepakatinya metode penentuan tinggi rendahnya ancaman pidana. ICJR berharap agar DPR dan pemerintah lebih jernih dalam melakukan pembahasan RUU KUHP untuk mempersempit potensi overkriminalisasi.
Kedua, RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. KUHAP adalah hukum dasar untuk peradilan pidana di Indonesia. DPR dan Pemerintah harus memastikan bahwa KUHAP dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip fair trail dan HAM. KUHAP juga tidak hanya menjamin hak hak tersangka dan terdakwa, namun juga harus bisa menjamin perlindungan bagi saksi dan korban. ICJR secara khusus merekomendasikan pengaturan yang lebih ketat terhadap upaya paksa, memperkuat Sistem Peradilan Pidana yang terintegrasi. Termasuk Pengaturan yang meliputi jaminan efektifitas kuasa hukum, kualitas pembuktian, jaminan akses upaya hukum biasa dan luar biasa dan lain sebagainya.
Ketiga, RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). ICJR meminta agar pembahasan RUU PKS diprioritaskan oleh pemerintah dan DPR dengan memperhatikan ketentuan pidana yang dapat menjangkau kriminalisasi pelaku kekerasan seksual yang menutup celah di berbagai UU saat ini. Secara khusus ICJR meminta agar pemerintah dan DPR dapat berfokus pada perlindungan dan pemenuhan hak korban. Jaminan Visum gratis, bantuan medis dan psikologis, sampai dengan jaminan perlindungan dan hak adminstrasi lainnya harus dipenuhi dan disediakan.
Keempat, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol/Minol. DPR sebagai pihak yang mendorong RUU Minol, harus segera mempublikasikan ruang lingkup ketentuan-ketentuan larangan dalam RUU tersebut, ada overkriminalisasi dalam RUU ini. Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol sebaiknya dilakukan dengan argumentasi yang lebih obyektif berbasis kebutuhan kesehatan masyarakat bukan dikaitkan dengan standar moral tertentu. Kebijakan larangan minuman alkohol harus dikaji dengan hati-hati terutama dari sisi penerapan dan kebutuhannya, jangan sampai menimbulkan kehebohan yang tidak perlu dalam masyarakat.
Kelima RUU Terorisme. RUU Terorisme saat ini sedang dibahas di DPR. Dalam perjalanannya, ICJR tetap mendorong dijaminnya prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dalam pemantauan ICJR, salah satu isu penting yang kurang mendapat perhatian adalah terkait perlindungan dan pemenuhan hak korban. ICJR memahami bahwa aspek pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana terorisme adalah hal yang penting, namun ICJR mendorong agar Pemerintah dan DPR juga memperhatikan dengan serius hak korban yang merupakan orang-orang yang mendapatkan langsung dampak dari kejahatan terorisme.
Keenam, RUU tentang Penyadapan. DPR dan Pemerintah harus membuat satu aturan penyadapan yang dapat menjamin perlindungan bagi hak asasi manusia disamping mengatur penggunaannya bagi penegakan hukum. Saat ini, tidak kurang dari 16 peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyadapan dengan standar yang berbeda-beda. ICJR meminta agar Pemerintah dan DPR mengacu pada putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU ITE terhadap UUD 1945 yang telah secara gamblang menyebutkan standar minimal pengaturan penyadapan.
Ketujuh, UU Narkotika. Persoalan narkotika merupakan persoalan penting di Indonesia, saat ini mayoritas kasus pidana di pengadilan adalah kasus narkotika, terutama pecandu dan pengguna narkotika yang juga menyumbang lebih 25% penghuni rutan dan lapas, yang menimbulkan overcrowding. ICJR meminta agar RUU Narkotika diletakkan pada pendekatan kesehatan masyarakat. Pemerintah dan DPR harus memastikan dekriminalisasi bagi pengguna dan pecandu narkotika untuk menjamin terbukanya akses kesehatan. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan narkotika untuk kebutuhan tehknologi, ilmu pengetahuan dan kesehatan.
Kedelapan, RUU Pemasyarakatan. Pemasyarakatan adalah salah satu problem serius di Indonesia, inkonsistensi antara keinginan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kelebihan beban lapas dan produksi pasal-pasal pidana yang mengandalkan pemenjaraan adalah salah satu problemnya. Dalam kondisi ini maka peran pemasyarakatan menjadi penting. Kedepan perlu penguatan terkait konsep pembinaan di luar lapas yang belum terakomodir dalam UU Pemasyarakatan tahun 1995. Termasuk revitalisasi bagi lembaga-lembaga pengampu pemasyarakatn saat ini.
Dari catatan di atas setidaknya bisa dirangkum masukan utama dari ICJR terhadap kedelapan RUU Prolegnas 2018 tersebut yakni :
Pertama, pemerintah dan DPR harus memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam hal penggunaan instrumen pidana serta pengaturan mengenai hukum acara pidana.
Kedua, semaksimal mungkin pemerintah harus menutup celah overkriminalisasi yang saat ini masuk dalam level menghawatirkan, pasal-pasal pidana karet dan tidak lagi layak diatur harus dihapus sepeti pasal penghinaan pada penguasa, presiden atau institusi negara, perluasan pidana zina, pidana minol sampai dengan pidana bagi pengguna dan pecandu narkotika. Selain itu perlu juga memikirkan kebijakan alternatif pidana selain pidana penjara. Menekan jumlah ancaman pidana dan menggantinya ke pidana lain seperti denda, kerja sosial, pidana bersyarat, dan beberapa alternatif lain bisa menjadi solusi.
Ketiga, pemerintah harus memastikan penguatan perlindungan korban dalam beberapa tindak pidana sepeti terorisme dan kekerasan seksual, korban harus menjadi kata kunci dalam semua pembahasan RUU.
Keempat, ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah memberikan perhatian dengan membuka akses-akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas kedelapan RUU tersebut, termasuk mempublikasikan segera rancangan-rancangan kepada publik, akses informasi, hearing yang lebih luas dan beragam kepada masyarakat Indonesia. DPR harus dipuji dalam pembahasan RKUHP, tapi akses tertutup pada rapat-rapat di luar DPR serta rapat rapat awal rancangan di Pemerintah dan minimnya berkas-berkas rancangan dan pembahasan masih dirasakan.