Dalam debat Capres perdana 12 Desember 2023, muncul pertanyaan dan pembahasan mengenai pemberantasan korupsi dan independensi aparat penegak hukum dan kekuasaan kehakiman. Pada bahasan ini, sayang ketiga Capres tidak membahas tentang masalah implementasi kebijakan narkotika bermasalah, yang mana ini adalah sumber masalah korupsi di sektor peradilan dan masalah independensi peradilan.
Masalah overkriminalisasi di Indonesia adalah kesalahan fatal kebijakan narkotika. Sebanyak 103.081 orang pengguna narkotika dikirim ke penjara (ICJR,2022), padahal Laporan Kantor Komisaris HAM PBB tentang Kebijakan Narkotika sudah menekankan bahwa pendekatan punitif hanya akan memberikan dampak buruk terhadap hak asasi manusia. Mulai dari permasalahan mengenai akses kesehatan, masalah overcrowding pemenjaraan dan penggunaan penjara yang eksesif, dampak yang timpang terhadap kelompok rentan utamanya anak, pemuda dan perempuan.
Kriminalisasi pengguna sebesar 60% dari seluruh kasus pidana ditangani oleh Aparat Penegak Hukum (APH), sehingga hal ini menandakan narkotika sebagai permasalahan inti sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pun juga telah dilaporkan adanya keterlibatan besar APH dalam peredaran gelap narkotika yang didukung dengan aturan yang tidak akuntabel dalam regulasi narkotika. Pasar gelap dikendalikan aparat yang koruptif. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sejak 2019-2022, total terdapat 178 anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana narkotika. Peranan dari anggota Polri yang terlibat pun beragam. Berdasarkan temuan tersebut, dari 178 anggota Polri yang terlibat sebanyak 49 orang adalah pengedar, 58 orang sebagai kurir dan 13 anggota Polri merupakan bandar narkotika.
Sayangnya, ketiga Capres tak ada sekalipun yang menyinggung masalah korupsi dengan memaparkan masalah korupsi aparat dalam implementasi kebijakan narkotika yang bermasalah.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini kebijakan narkotika ini. ICJR merekomendasikan perubahan paradigma dalam kebijakan narkotika terhadap pengguna narkotika dengan memperkenalkan dekriminalisasi. Dekriminalisasi akan menghilangkan respon hukum pidana terhadap pengguna narkotika menjadi respon kesehatan.
Dekriminalisasi menjadi jalan paling efektif untuk mengurangi konsumsi narkotika yang bermasalah dan mencegah orang menjadi ketergantungan. Dengan dekriminalisasi, pengguna narkotika tidak akan takut mengakses layanan kesehatan jika membutuhkan. Selain itu, melalui skema ini sumber daya manusia APH yang dapat dialihkan untuk fokus melawan kelompok kejahatan terorganisir yang besar dan paling berbahaya disertai pengawasan yang akuntabel. Skema ini harus diatur dalam revisi UU Narkotika untuk menjawab permasalahan kebijakan narkotika.
Jakarta, 13 Desember 2023
ICJR