Satu-satunya pertanyaan yang muncul ketika membahas tentang pelanggaran HAM berat masa lalu dari debat perdana calon presiden, 12 Desember 2023, muncul dari pertanyaan Capres 3 kepada Capres 2 terkait penyelesaian 12 kasus HAM berat masa lalu.
“Pada 2009, DPR sudah mengeluarkan empat rekomendasi kepada Presiden. Keempat rekomendasi itu, membentuk pengadilan HAM, menemukan 13 korban penghilangan paksa pada 1997-1998, pemulihan dan kompensasi pada korban pelanggaran HAM berat, dan meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa. Apakah Capres 2 akan melaksanakan seluruh rekomendasi itu?,” tanya Capres 3 kepada Capres 2. Kemudian dijawab oleh Capres 2 dengan balik bertanya soal rekam jejak Cawapres 3 yang pernah menangani persoalan itu. Lalu, dikomentari lagi oleh Capres 3 yang akan fokus pada pembentukan pengadilan HAM serta membantu korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM berat apabila terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia.
Apa yang dilontarkan oleh Capres 3, menurut catatan ICJR, sudah menyinggung kulit dari persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu pada penyelesaian kasus melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial. Hanya saja, pembahasannya belum menyentuh akar persoalan, terutama terkait bagaimana pembentukan pengadilan HAM dan membantu korban pelanggaran HAM berat itu akan dijalankan.
Tahun 2022, pemerintah telah membentuk Keppres No. 17 Tahun 2022 yang menekankan upaya alternatif untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang fokus pada pemulihan korban atau keluarganya.
ICJR mendukung upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang salah satunya melalui jalur rekonsiliasi ini, namun harus jelas mekanisme dan proses penyelesaiannya dengan melibatkan K/L/D dalam implementasi pemenuhan hak-hak korban, yang mencakupi upaya pemberian kompensasi (ganti kerugian), bantuan medis dan psikososial, memorialisasi, beasiswa, dan beragam bentuk pemulihan korban lainnya. Mekanisme non-Yudisial juga tidak boleh dianggap sebagai bagian impunitas atau sebagai jalan untuk melepaskan tanggung jawab pelaku pidana pelanggaran HAM Berat.
Mekanisme non-yudisial akan melanjutkan dan memperkuat program-program pemulihan korban pelanggaran HAM yang berat yang sedang dilakukan oleh Pemerintah hanya apabila komitmen untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat juga tidak meninggalkan upaya pencarian keadilan melalui jalur yudisial.
Maka ICJR mendorong para calon presiden untuk tetap membentuk dan menjalankan mekanisme dan proses penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme judicial (peradilan), karena meskipun pemerintah era Jokowi telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi hanya 4 kasus yang sudah diadili dan 13 kasus masih dalam proses penyidikan, bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme judicial ini berpegang pada komitmen dari pemerintah, termasuk keseriusan Kejaksaan Agung dalam melakukan proses penyidikan.
Di samping itu, debat juga sempat menyinggung soal semangat ketidak berulangan kasus penghilangan aktivis saat membahas rekam jejak Capres 2. Namun sayangnya, pembahasan ini dianggap tendensius oleh Capres 2, bukan sebagai komitmen sebagai seorang calon presiden yang memang harus akuntabel khususnya untuk kasus-kasus “most serious crime” seperti pelanggaran HAM Berat.
Maka ICJR mendorong para calon presiden untuk dapat berkomitmen mewujudkan kondisi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat berdasarkan prinsip ketidak berulangan (non-recurrence principles), antara lain melalui klarifikasi sejarah dan memoralisasi tentang pelanggaran HAM yang berat masa lalu dan memperkuat reformasi institusi utamanya institusi keamanan dan pertahanan yang berorientasi pada pencegahan pelanggaran HAM yang berat. Sayangnya Institusi-institusi seperti kepolisian dan TNI ini masih tidak tersentuh dalam perdebatan.
Jakarta, 13 Desember 2023
ICJR