Pada 25 Oktober 2020 lalu, hasil Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan 36% responden menyatakan Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis, 47,7% responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat. Yang juga dilaporkan adalah 57,7% responden juga menyatakan aparat dinilai makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Selain itu, berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Di sisi yang lain, Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 yang dikeluarkan oleh Transparency International menyatakan bahwa Skor CPI dan peringkat global Indonesia turun drastis, dari skor 40 pada tahun lalu menjadi hanya 37 pada 2020. Sementara peringkat global Indonesia dari 85 dunia kembali turun menjadi 102. Berdasarkan data tersebut, kita dapat melihat bahwa penurunan indeks demokrasi berbanding lurus dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia. Data tersebut menunjukkan demokrasi Indonesia sedang melemah, berada dalam titik terendah dalam 14 tahun terakhir, dan lemahnya demokrasi akan bermuara pada melemahnya agenda pemberantasan korupsi yang berdasarkan data dan kondisi saat ini, dapat dengan mudah dirasakan.
Dalam kondisi situasi demokrasi dan pemberantasan korupsi yang melemah ini, Pemerintah malah menyebarkan draft September 2019 yang tetap mamasukkan pasal-pasal warisan kolonial yang bertujuan mengekang iklim demokrasi di Indonesia. Padahal Pemerintah dan DPR selalu berjargon bahwa RKUHP dengan cita-cita reformasi hukum pidana di Indonesia hadir dengan semangat demokratisasi, dekolonisasi, dan harmonisasi hukum pidana. Pasal-pasal ini justru adalah monumen kolonial di Indonesia.
Pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP. Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste. Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, yang pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda. Pasal tersebut pun sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006, dimana MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat Pasal Penghinaan Presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Rumusan pasal tersebut juga bertentangan dengan Konvenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005, dimana berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 tentang the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression dinyatakan bahwa Hukum Internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk diberikan kritik dan komentar.
Kedua, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP. Pasal ini disebut juga dengan nama pasal Haatzaai Artikelen. Haatzaai artikelen sesungguhnya berasal dari British Indian Penal Code, dan pada waktu itu dianggap tepat untuk diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda. Dengan kondisi Indonesia sekarang sudah merupakan negara merdeka yang bebas dari penjajah, namun pasal tersebut masih saja dipertahankan, sudah sepatutnya pasal kolonial ini tidak perlu ada karena tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka. Pasal tersebut pun sudah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 berdasarkan putusan MK No. 6/PUU-V/2007. Jika kita merujuk pada Komentar Umum Konvenan Hak Sipil dan Politik Komisi HAM PBB No 34, poin 38 juga disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi contohnya kemiliteran dan juga kepada administrasi negara.
Ketiga, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP. Sama halnya dengan kedua poin diatas, Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif. Pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern. Selain itu, hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik.
Keempat, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP. Pasal ini merupakan produk hukum kolonial Belanda yang kita kenal sebagai Pasal 510 KUHP. Selain itu, Pasal ini juga merupakan sari produk hukum rezim Demokrasi Terpimpin UU No. 5/PNPS/1963 tentang Kegiatan Politik. Dari gabungan kedua rezim kolonial dan demokrasi terpimpin tersebut, Pasal 273 RKUHP ini ada mengatur kegiatan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum dimana pihak penyelenggara harus memohon izin polisi atau pejabat berwenang. Adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an. Belum lagi pada rezim orde baru digunakan juga sebagai pasal langganan penguasa saat itu untuk membatasi kegiatan masyarakat yang akan berdemonstrasi karena diketahui berbeda pendapat dengan penguasa. Padahal yang perlu diminta dari masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam berdemonstrasi adalah pemberitahuan, dan bukan izin. Pasal 273 RKUHP ini jelas cerminan watak politik perizinan peninggalan kolonial, peninggalan rezim demokrasi terpimpin dan orde baru yang sengaja dipertahankan untuk mengontrol akitivitas rakyatnya sendiri.
Kelima, terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP. Pasal 281 huruf b dan c RKUHP sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan Pers. Pasal 281 huruf b melarang setiap orang untuk tidak bersikap tidak hormat termasuk dalam “menyerang integritas hakim” misalnya menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur. Pasal ini akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial. Aliansi justru melihat bahwa menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa. Lalu, Pasal 281 huruf c melarang perbuatan tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan saat sidang pengadilan berlangsung. Pemerintah menilai bahwa Pasal ini ditujukan untuk melarang adanya Trial by Press, karena dengan adanya pemberitaan yang mendahului putusan pengadilan dapat mempengaruhi indepensi hakim. Padahal peradilan di Indonesia bersifat terbuka untuk umum sehingga pemberitaan bebas dilakukan, dengan begtu logikanya bukan izin melainkan dalam hal hakim memerintahkan persidangan dilakukan tertutup.
Melihat catatan-catatan tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyerukan kepada Pemerintah untuk membuka dan meninjau serta membahas ulang draft pembahasan RKUHP secara transparan, dapat diakses oleh publik, dan melibatkan berbagai keahlian dan masyarakat sebagai jaminan bahwa RKUHP adalah proposal produk kebijakan yang demokratis, sebelum dimasukkan kembali dalam Prolegnas Tahunan. Selanjutnya yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia, utamanya dalam kondisi Indonesia saat ini.
Jakarta, 10 Juni 2021
Hormat kami,
Aliansi Nasional Reformasi KUHP
ICJR, ELSAM, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, PBHI, LeIP, LBH Jakarta, PKBI, PSHK, Arus Pelangi, HRWG, YLBHI, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, MaPPI FHUI, CDS, ILR, ICEL, Rumah Cemara, WALHI, Jatam, YPHA, Ecpat Indonesia, ILRC, Epistema Institute, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, PKNI, PUSKAPA, AMAN Indonesia, AMAN Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, JKP3, OPSI, Pusat Kajian Gender dan Seks UI, Institut Perempuan, Lintas Feminis Jakarta, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia, Pusham UII, OHANA, SEHATI Sukoharjo, Greenpeace Indonesia, SAFEnet, IJRS, Pamflet.