Ketentuan pemberatan bagi pengulangan tindak pidana di dalam RKUHP, yang tidak lagi menggunakan mekanisme pengelompokkan tindak pidana, berpotensi memperburuk masalah overcrowding di Indonesia. Padahal, RKUHP digadang-gadang oleh Tim Perumus sebagai salah satu solusi dari permasalahan overcrowding di Indonesia.
Dalam draft RKUHP versi 28 Mei 2018, ketentuan mengenai pengulangan tindak pidana dimuat di dalam Bab II Buku I, tepatnya di dalam Pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut:
Pengulangan Tindak Pidana terjadi jika seseorang melakukan Tindak Pidana kembali:
a. dalam waktu 5 (lima) tahun setelah menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan atau pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
b. pada waktu melakukan Tindak Pidana, kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan terdahulu belum kedaluwarsa.
Pengulangan tindak pidana merupakan salah satu faktor yang dapat memperberat pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 64 RKUHP dan Pasal 65 RKUHP, pengulangan tindak pidana dapat memperberat pidana sebesar 1/3 dari maksimum ancaman pidana. Artinya, jika suatu tindak pidana pada keadaan normal diancam dengan pidana penjara maksimum 3 bulan, maka dengan ketentuan pemberatan karena adanya pengulangan, ancaman pidana penjara maksimum adalah 3 bulan + 1/3 3 bulan = 4 bulan.
Ketentuan pemberatan pidana karena faktor pengulangan ini sebenarnya sudah dikenal di dalam Pasal 486 hingga Pasal 488 KUHP. Dalam KUHP, seseorang dikatakan melakukan pengulangan tindak pidana apabila mengulangi tindak pidana yang sama-sama berada di dalam satu kategori tindak pidana tertentu sebagaimana yang telah ditentukan di dalam ketentuan Pasal 486 hingga Pasal 488.
Sebagai contoh, apabila dalam kurun waktu 5 (lima) tahun setelah seseorang menjalani masa pidana karena melakukan pembunuhan berencana, kemudian dirinya kembali melakukan penganiayaan berencana yang diancam pidana di dalam Pasal 353, orang tersebut dapat dikatakan melakukan pengulangan tindak pidana. Selain itu, dalam konsep KUHP yang ada saat ini, seseorang hanya dapat dikatakan melakukan pengulangan tindak pidana apabila dirinya melakukan pengulangan tindak pidana yang dikategorikan kejahatan di dalam Buku II. Sedangkan, apabila seseorang melakukan pengulangan ketentuan di dalam Buku III, maka ketentuan pemberatan tidak berlaku.
Namun di dalam konsep RKUHP, dikarenakan adanya perubahan struktur yang menghilangkan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, maka berdasarkan ketentuan Pasal 24 RKUHP, seseorang yang melakukan pengulangan pelanggaran pun dapat dikenai pemberatan tindak pidana. Tidak hanya itu, seseorang yang setelah melakukan kejahatan kemudian melakukan kembali tindak pidana lain yang dalam KUHP saat ini dikategorikan sebagai pelanggaran, maka dirinya akan tetap dikenai pemberatan. Demikian sebaliknya, apabila seseorang yang melakukan pelanggaran kemudian melakukan lagi tindak pidana lain yang lebih berat, maka dirinya akan dikenai ketentuan pemberatan karena pengulangan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan permasalahan.
Ketentuan ini, apabila diperhatikan lebih seksama sebenarnya memiliki kemiripan dengan aturan Three Strikes Law yang dikenal di California. Dalam konsep three strikes-law, bentuk kejahatan apapun baik yang berat maupun ringan sifatnya, dapat dikenai ketentuan ini apabila pelaku pernah melakukan satu atau lebih kejahatan yang serius atau melibatkan kekerasan. Mekanisme three strikes secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pada strike pertama, pelaku “serious” atau “violent” crime menjalani masa pidana sebagaimana yang dijatuhkan.
- Pada strike kedua, pelaku kejahatan apapun diharuskan menjalani masa pidana 2x lipat dari yang dijatuhkan oleh hakim.
- Pada strike ketiga, pelaku kejahatan apapun diharuskan menjalani pidana penjara minimum 25 tahun hingga seumur hidup.
Ketentuan ini mengundang banyak kritik utamanya karena dalam penerapannya dianggap terlalu kejam apabila seseorang yang memiliki riwayat kejahatan serius atau yang melibatkan kekerasan kemudian melakukan kejahatan yang sifatnya ringan seperti pencurian dengan jumlah yang kecil. Tidak hanya itu, ketentuan ini dianggap menambah beban negara karena bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai narapidana di penjara.
Dengan skema penerapan ketentuan pemberatan karena pengulangan yang dikenal di dalam RKUHP, persentase seseorang yang dikategorikan sebagai residivis akan meningkat, dan semakin banyak pula orang yang dapat dijatuhi masa pidana yang lebih panjang dari yang seharusnya. Hal ini akan berdampak pada peningkatan penghuni LAPAS/RUTAN sebagai tempat dimana narapidana menjalani masa pidananya. Padahal, data yang diakses dari Sistem Database Pemasyarakatan Ditjenpas, saat ini kondisi LAPAS dan RUTAN di Indonesia mengalami overcrowding sebesar 201%.
Berdasarkan hal ini, ICJR merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali ketentuan pengulangan tindak pidana di dalam RKUHP secara hati-hati dan memberikan pembatasan pengulangan tindak pidana apa saja yang dapat dikenai ketentuan pemberatan, sebagaimana ketentuan yang ada di dalam KUHP.
—-
Kami memahami, tidak semua orang orang memiliki kesempatan untuk menjadi pendukung dari ICJR. Namun jika anda memiliki kesamaan pandangan dengan kami, maka anda akan menjadi bagian dari misi kami untuk membuat Indonesia memiliki sistem hukum yang adil, akuntabel, dan transparan untuk semua warga di Indonesia tanpa membeda – bedakan status sosial, pandangan politik, warna kulit, jenis kelamin, asal – usul, dan kebangsaan.
Hanya dengan 15 ribu rupiah, anda dapat menjadi bagian dari misi kami dan mendukung ICJR untuk tetap dapat bekerja memastikan sistem hukum Indonesia menjadi lebih adil, transparan, dan akuntabe
Klik taut icjr.or.id/15untukkeadilan