Kita perlu sama-sama mengingat kasus hampir serupa dengan Ardian Aldiano, misalnya kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan di Kupang, NTT dan Fidelis Arie di Sanggau, Kalimantan Barat. Rossy di Kupang mengobati keluhan syarafnya dengan bantuan ganja, kemudian kondisi yang kesehatan membaik, Fidelis mengobati penyakit langka istrinya dengan bantuan ganja, istrinya pernah mengalami kondisi yang sangat membaik, namun Fidelis harus dihukum secara pidana dan dipenjara, pengobatan dengan manfaat ganja sang istri dihentikan, dan akhirnya istri Fedelis meninggal dunia.
Ardian Aldiano sejak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah mengalami penyakit kejang-kejang sampai dengan ia berusia 30 tahun. Ia bisa mengalami kejang sampai dengan 4 kali dalam seminggu. Pada 2017, setelah penyakitnya diketahui sang istri, Ardian Aldiano mencoba memeriksa keluhan penyakitnya ke dokter. Ia sempat diberikan obat-obatan oleh dokter, seluruh obat diminum sesuai dengan yang diperintahkan, namun kejang-kejang terus dialami oleh Ardian Aldiano. Akhirnya Ardian Aldiano mencari tahu tentang pengobatan kejang. Ia menemukan informasi tentang manfaat terapi ganja untuk pengobatan kejang. Ia terpaksa mengakses ganja untuk pengobatannya pertama kali dari pasar gelap. Ia memperoleh manfaat dari ganja tersebut, dengan berkembangnya kondisi tubuhnya menjadi lebih baik, ia berusaha mengkonsumsi ganja dengan rutin. Namun khawatir dengan kandungan manfaat dari ganja yang ia dapatkan dari pasar gelap, Ardian Aldiano berinisiatif menanam sendiri ganjanya.
Di satu sisi Ardian Aldiano memahami resiko dari tindakan yang ia lakukan, ia pun takut mengalami kondisi ketergantuan ganja. Ardian Aldiano memeriksakan tentang penggunaan narkotika ke Lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat bernama Yayasan Gagas sejak 2017. Ardian Aldiano diketahui mengkonsumsi ganja dan diperlukan serangkaian rehabilitasi, dan proses tersebut pun ia jalankan. Namun naas, pada Februari 2020, Ardian Aldiano justru ditangkap penyidik atas ditemukan 27 batang ganja yang ia tanam untuk kepentingan terapi. Ia kemudian diproses secara pidana sampai dengan terbitnya tuntutan penuntut umum pada 5 Oktober 2020 di PN Surabaya yang meminta majelis hakim memutusnya bersalah dengan Pasal 111 ayat (2) UU Narkotika tentang penguasaan narkotika bentuk tanaman. Penuntut Umum sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan Ardian Aldiano yang menjadi latar belakang mengapa ada penguasaan ganja pada diri Ardian Aldiano.
Ardian Aldiano kini menunggu putusan hakim dan berharap hakim mampu melihat bahwa ia sakit dan membutuhkan pengobatan untuk rasa sakitnya. Hakim adalah cerminan dari suatu keadilan, bukan hanya corong undang-undang. Dengan perkembangan dunia yang sudah menjadikan ganja sebagai ciptaan Tuhan yang sangat memberikan manfaat kepada kemanusiaan, maka seyogyanya aparat penegak hukum mempertimbangkan hal ini. Tidak ada kepentingan untuk mempidana orang yang sedang berjuang untuk melawan sakitnya dengan memanfaatkan tumbuhan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Unduh Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) Untuk Majelis Hakim dalam Perkara No 1285/Pid.Sus/2020/PN Sby di sini