“Menguji keabsahan penahanan lebih sekadar formalitas. Akibatnya, tempat penahanan overcrowded.“
Penahanan pada prinsipnya merupakan pembatasan hak asasi manusia. Penahanan yang dilakukan polisi dan jaksa tanpa izin pengadilan semakin membuat penahanan sulit dikontrol. Kalaupun ada mekanisme praperadilan, sebagian besar upaya hukum ini tidak berhasil.
Kajian yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan aturan penahanan pra-persidangan dalam KUHAP masih memiliki kelemahan. Misalnya, penyidik masih menggunakan mekanisme penahanan secara maksimal hingga batas akhir meskipun sudah mengantongi bukti yang cukup. Penyidik terlalu gampang memutuskan untuk menahan seseorang dan dilakukan dalam batas waktu maksimal. Akibatnya, tempat-tempat penahanan di Indonesia penuh dan melebihi kapasitas.
Rabu (21/3) lalu, ICJR mendiskusikan hasil kajian sementara itu dengan sejumlah pemangku kepentingan. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nurcholis Hidayat mengkritisi penahanan yang dilakukan polisi di tingkat penyidikan. Menurut dia semestinya penahanan menjadi alternatif terakhir terhadap tindak pidana ringan (Tipiring). Terlebih lagi sejak terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tipiring dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Dia menilai dengan terbitnya Perma tersebut adanya batasan penahanan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam melakukan penahanan di tingkat penyidikan, penyidik melakukan penahanan selama 20 hari dan dapat diperpanjang selama 40 hari. Tapi dengan catatan penyelesaian perkara di tingkat penyidikan seyogianya dapat dipercepat. “Jangan-jangan penahanan yang tidak seperlunya untuk ditahan,” ujarnya.
Advokat Agus Pasaribu punya pandangan berbeda. Menurut dia kebijakan penahanan merupakan kesewenang-wenangan penyidik. Klien Agus pernah ditahan lantaran pihak pelapor meminta kepada penyidik. Makanya dia menilai tindakan tersebut bentuk pelanggaran HAM. Penyidik kata dia selalu berdalih penahanan telah sesuai KUHAP. “Tapi yang sering di lapangan pelapor yang minta, itu pelanggaran HAM,” imbuhnya.
Waluyo menepis tudingan tersebut. Penyidik Polres Jakarta Selatan ini mengatakan dalam menetapkan status tersangka didahului gelar perkara. Terlebih lagi Polri telah menerbitkan Perkap No 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia.
Selain KUHAP, Perkap 12 Tahun 2009 menjadi acuan penyidik dalam menangani sebuah perkara. Menurut Waluyo, terhadap orang yang disangkakan dengan ancaman hukuman di atas lima tahun, penyidik akan melakukan penahana. “Kami melakukan penahanan berdasarkan bukti yang cukup,” ujar Waluyo.
Soal lambannya penanganan perkara di tingkat penyidikan dikarenakan beberapa hal. Antara lain penyidik memerlukan keterangan saksi. Sayangnya kata Waluyo, tidak segampang yang dibayangkan memanggil saksi untuk dimintai keterangan. Menurut dia memanggil saksi mengalami kendala jarak, luar kota misalnya. Makanya diperlukan waktu berulang kali dengan melayangkan surat panggilan. “Jadi itu lamanya,” dalihnya.
Selain itu dalam penanganan perkara, pelapor dapat meminta hasil perkembangan penyidikan. Penyidik pun akan memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan hasil Penyidikan (SP2HP). “Jadi kita menahan bukan karena ada kepentingan atau karena permintaan pelapor,” tegasnya.
Dimyati punya pandangan berbeda. Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini menilai penahanan tidak melulu mengacu pada Pasal 21 KUHAP. Tetapi penahanan yang dilakukan penyidik maupun hakim juga mengacu pada pasal dalam dakwaan yang ancamannya tergolong tinggi. “Penahanan itu juga mengacu pada pasal dalam dakwaan yang ancamannya tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitian ICJR, praktik penangguhan penahanan dengan menggunakan jasa advokat acapkali kandas. Hal itu lantaran alasan subjektif penyidik khawatir tersangka tidak kooperatif pada saat menjalani pemeriksaan. Karena itulah penyidik acapkali mengesampingkan permohonan penangguhan penahanan.
Overstay
Penahanan yang dilakukan penyidik ditempatkan di rumah tahanan atau dititipkan ke rutan lain Salemba misalnya. Namun hal itu menjadi persoalan baru. Pasalnya di tingkat Polsek maupun Polres memiliki ruang tahanan. Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Cipinang Bawono Ika meragukan keabsahan rumah tahanan yang dimiliki Polsek maupun Polres.
Polres Jakarta Selatan misalnya memiliki 14 kamar ruang tahanan. Sedangkan Polsek di wilayah Jakarta Selatan memiliki 3-4 ruang kamar tahanan. Menurut dia, rumah tahanan yang sah telah diatur oleh peraturan menteri. “Sel-sel di Polsek dan Polres ini sah atau tidak tempat penahanan. Jangan sampai salah, nanti digugat,” imbuhnya.
Pihak Rutan acapkali menjadi ‘bulan-bulanan’ akibat overstay tahanan. Menurut dia Rutan menjadi tempat titipan tahanan yang acapkali masa penahanannya telah memasuki masa habis. Semestinya, kata dia jika tahanan titipan, maka pihak yang menitipkan yang memberitahukan kepada tahanan soal masa habisnya masa tahanan.
“Logika berpikirnya habisnya masa penahanan ya yang nitipin yang memberitahu. Tapi kan di KUHAP kan tidak, dan itu kita perhatikan. Tapi kalau tidak dikasih tahu sebelum masa penahanan habis, kita juga yang kena sanksi,” ujarnya.
Deputi Program Center for Detention Studies (CDS) Gatot Oei khawatir dengan Polsek maupun Polres yang memiliki ruang tahanan. Pasalnya terhadap tersangka yang ditahan di Polsek maupun Polres dalam tindak pidana rawan mengalami tindakan kekerasan. Makanya tidak jarang pelaku tipiring yang mengalami masa penahanan yang berlebihan. “Kami sudah memberikan rekomendasi untuk membuat kebijakan pembebasan demi hukum karena masa penahanan sudah habis,” tandasnya.
Dimyati tidak sependapat dengan frasa ‘kebijakan penahanan’. Dia berpendapat sepanjang masih menggunakan HIR masa penahanan tidak ada jangka waktunya. Tetapi dengan adanya KUHAP penahanan telah diatur dengan jelas. Menurut dia terhadap seseorang yang mendekam telah melewati masa penahanan dapat mengajukan upaya hukum.
“Tahanan sudah lewat, yaitu keluar demi hukum. Solusi penahanan yang berlebihan adalah praperadilan sebagai upaya menonjok agar penyidik lebih cepat melimpahkan berkas,” pungkasnya.
Berita diambil dari hukumonline.com