Sidang lanjutan kasus kriminalisasi terhadap buruh perempuan, Septia, digelar pada 11 Desember 2024. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta, subsider 3 bulan kurungan terhadapnya. Septia didakwa melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016 karena menyampaikan opininya dengan menyertakan fakta terkait pelanggaran hak ketenagakerjaan oleh Pelapor Jhon LBF di HiveFive melalui akun Twitter (X) pribadinya pada 2 November 2022.
Merespon perkara tersebut, pada tanggal 8 Desember 2024, ICJR telah mengirimkan Amicus Curiae pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk selanjutnya dipertimbangkan Majelis Hakim yang memutus perkara.
Septia didakwa berdasarkan Surat Dakwaan No. Reg.Perkara: PDM-195/M.1.10/08/2024 tanggal 26 Agustus 2024 oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan alternatif; kesatu primair Pasal 27 (3) jo Pasal 36 Jo Pasal 51 (2) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 2016), dakwaan kesatu subsidair: Pasal 27 (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE 2016, atau dakwaan alternatif Kedua: Pasal 311 (1) KUHP.
Dalam perkara ini, ICJR menyoroti adanya upaya kriminalisasi yang tidak berdasar hukum terhadap Septia. Terdapat beberapa kekeliruan dalam proses hukum tersebut, yaitu:
Pertama, dakwaan seharusnya batal demi hukum. Dakwaan masih menggunakan dasar hukum UU ITE lama tahun 2016, meskipun telah digantikan oleh UU ITE 2024. Hal ini melanggar asas lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) dan asas lex favor reo (apabila terdapat perubahan suatu peraturan perundang-undangan maka diterapkan aturan yang paling meringankan bagi terdakwa).
Penuntut Umum tidak memerhatikan perubahan mendasar dalam UU ITE 2024, khususnya Pasal 27A, Pasal 45 ayat (4) dan (7), serta Pasal 36, yang memberikan ketentuan pidana lebih ringan dan menghilangkan ancaman pidana yang memberatkan. Sehingga UU ITE 2024 yang seharusnya berlaku pada Septia.
Karena hal ini dakwaan tidak memenuhi syarat materiil sesuai Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP dan harus dinyatakan batal demi hukum berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Pasal ini mengatur penerapan dasar hukum surat dakwaan harus selaras dengan prinsip hukum pidana.
Kedua, tindakan Septia yang menyampaikan keresahan di akun Twitter (X) pribadinya terkait pelanggaran hak ketenagakerjaan oleh HiveFive adalah upaya memperjuangkan hak dirinya sebagai pekerja dan kepentingan umum. Berdasarkan SKB Pedoman Implementasi UU ITE 2021 dan Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024, penyampaian fakta untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana dan justru seharusnya dilindungi oleh hukum.
Atas kedua hal tersebut, ICJR memohon majelis hakim untuk membebaskan Septia dari dakwaan tersebut.
Hormat Kami,
ICJR
Unduh amicus di sini