UU No 8 Tahun 1981 pada saat kelahirannya telah dipuja banyak kalangan sebagai karya agung bangsa Indonesia yang lebih menjamin perlindungan hak asasi manusia khususnya perlindungan hak asasi bagi Tersangka atau Terdakwa. Jika melihat kondisi pada waktu tersebut, penyebutan karya agung tersebut tidaklah salah karena hukum acara yang diterapkan sebelumnya yaitu Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) sangat sederhana dan telah banyak kritik karena tidak mampu memberikan artikulasi yang cukup bagi perlindungan hak asasi manusia.
Saat ini karya agung tersebut terasa tidak memadai, karena begitu banyak perkembangan dalam sistem peradilan pidana terutama yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia baik bagi Tersangka atau Terdakwa, Saksi, ataupun Korban. Khusus dalam perlindungan hak asasi manusia kedudukan Tersangka atau Terdakwa secara umum masih dipandang lemah baik pada tingkat regulasi ataupun pada praktek penerapan regulasi tersebut.
Dalam konteks tersebut, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sebagai bagian dari organisasi non pemerintah, berupaya untuk turut serta secara aktif dalam proses pembaharuan sistem peradilan pidana di Indonesia. Karena ICJR percaya bahwa pemberantasan kejahatan harus dimulai dengan meningkatkan perlindungan hak asasi manusia bagi Tersangka, Terdakwa, Saksi, dan Korban.
Untuk turut serta dalam pembaharuan sistem peradilan pidana, maka ICJR dalam rencana strategisnya telah menentukan bahwa hingga 2013, ICJR turut serta dalam pembaharuan sistem peradilan pidana dengan memfokuskan pada upaya pembaharuan mekanisme penahanan pra persidangan dan pembaharuan mekanisme pengujian terhadap upaya paksa khususnya yang terkait dengan penahanan pra persidangan. Persoalan penahanan pra persidangan tidak hanya terletak pada lemahnya pengaturan mengenai uji kebutuhan penahanan pra persidangan tetapi juga praktek penahanan pra persidangan yang terjadi selama ini bahkan sangat jauh dari kondisi atau syarat minimal yang digariskan menurut KUHAP. Dalam banyak kasus, Pejabat yang berwenang menahan sangat jarang melihat syarat – syarat yang digariskan dalam Pasal 21 KUHAP dan cenderung bergerak sesuai “template” surat perintah penahanan dan berita acara penahanan. Akibat “liberalnya” penahanan ini telah membawa akibat yang sangat serius dalam situasi penahanan di Indonesia. Informasi dari berbagai sumber menyebutkan, bahwa Indonesia mengalami kekurangan tempat-tempat penahanan, yang kemudian berakibat pada begitu banyaknya kasus overcrowding. Para tahanan ditempatkan di dalam tempat-tempat penahanan yang secara kapasitas sebetulnya sudah tidak lagi bisa menampung para tahanan. Imbasnya, banyak para tahanan yang mengalami situasi tidak manusiawi, sebagai akibat terbatasnya ruang bagi para tahanan. Data yang dirilis oleh Dirjend Pemasyarakatan pada 2009, seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia, setidaknya menampung 132.372 orang penghuni. Padahal seharusnya kapasitas yang tersedia hanya diperuntukan bagi 90.853 orang penghuni. Selain itu terdapat juga masalah lain yang muncul yaitu para tahanan dalam banyak kasus telah mengalami kelebihan masa penahanan (overstaying), kelebihan masa penahanan ini terjadi jika tahanan masih tetap ditahan padahal seharusnya sudah dibebaskan atau dilepaskan. Kelebihan masa penahanan ini sudah lama dipandang sebagai salah satu penyebab jumlah penghuni tahanan melebihi kapasitas.
Formulasi kompleksitas mekanisme dan praktek penahanan yang terjadi selama ini telah menyebabkan kondisi fisik yang buruk bagi tahanan, mereka biasa di kumpulkan dalam beberapa jam dalam satu sel dimana tak seorangpun dapat merebahkan diri. Kepadatan dan kondisi yang kotor mengakibatkan penyebaran penyakit menular. Penyebarluasan penyakit menular akibat dari kepadatan penghuni dan lingkungan yang tidak sehat. Selain itu, dalam kondisi tersebut petugas yang mengawasi para tahanan besar kemungkinan tidak mampu mengendalikan kekerasan antar tahanan, dimana tahanan sangat rentan terhadap kekerasan kelembagaan, tradisi perkenalan di tahanan dan kekerasan geng.
Kondisi yang terjadi inilah yang membuat ICJR berupaya untuk mencari, mengumpulkan, menerima, dan mengolah informasi mengenai situasi penahanan di Indonesia agar dapat menjadi basis data bagi perbaikan sistem peradilan pidana Indonesia di masa depan khususnya yang terkait dengan mekanisme penahanan dan mekanisme pengujian terhadap upaya penahanan tersebut.