ICJR Desak Pemerintah terbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah untuk mengatur Hukum Acara Praperadilan yang lebih komprehensif.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto melawan KPK. Setya Novanto (SN) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP pada 17 Juli 2017 oleh KPK, namun akhirnya memenangkan gugatan dengan beberapa alasan.
Dalam pantauan ICJR, setidaknya ada beberapa alasan Hakim yang mengabulkan gugatan SN, diantaranya Hakim menilai ada kesalahan prosedur karena SN ditetapkan sebagai tersangka di awal dan bukan di akhir penyidikan, lalu bukti yang diajukan oleh KPK dianggap tidak sah karena sudah digunakan di persidangan orang lain.
Atas pertimbangan tersebut ICJR memiliki beberapa catatan;
Pertama, Catatan penting adalah putusan Praperadilan ini tidak menggugurkan kewenangan KPK untuk kembali menetapkan yang bersangkutan menjadi tersangka. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Sepanjang KPK yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016, maka SN masih bisa ditetapkan menjadi tersangka.
Kedua, ICJR menyoroti alasan Hakim yang menyatakan ada kesalahan prosedur karena penetapan tersangka dilakukan di awal penyidikan. Secara ideal memang penyidikan dilakukan untuk membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka, namun juga tidak bisa diacuhkan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan “aspek formil” melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah.
Bahwa dengan kata lain, sepanjang KPK mampu menunjukkan ada 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menetapkan SN sebagai tersangka, secara normatif, maka Praperadilan tidak lagi relevan menilai konteks apakah penetapan tersangka ditempatkan di awal atau di akhir penyidikan.
Dan perlu dicatat, secara praktik dan teori yang dimaksud “aspek formil” adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti, bukan menyangkut penilaian hakim terhadap bukti tersebut. Maka Harusnya Hakim berfokus menilai, apakah perolehan alat bukti yang diajukan KPK untuk menetapkan SN sebagai tersangka sah atau tidak.
Ketiga, hal paling menarik adalah ketika Hakim menyebutkan bahwa bukti yang diajukan tidak boleh bukti yang digunakan dalam kasus lain. Memang pertimbangan ini cukup membingungkan sebab hukum pidana mengenal beberapa ketentuan dan teori yang secara langsung membuka peluang sebuah alat bukti digunakan pada lebih dari satu tersangka atau terdakwa.
Contohnya dalam konteks aturan Penyertaan yang diatur dalam Bab V KUHP, maka satu alat bukti, misalnya saksi yang melihat suatu perbuatan pidana terjadi, dimungkinkan melihat lebih dari satu orang melakukan tindak pidana, dalam praktik, apabila kasus diperiksa secara terpisah, maka seorang saksi yang merupakan bagian alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, sah dijadikan alat bukti dalam dua pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini berlaku untuk alat bukti lainnya seperti Surat, sepanjang bisa menerangkan keterkaitan dan membuktikan perbuatan pidana terjadi untuk memenuhi unsur delik.
Dalam kasus Korupsi yang sifatnya terorganisir, maka terbuka peluang kemungkinan besar adanya penyertaan, menjadi mengherankan apabila alat bukti yang sama tidak dapat digunakan dalam kasus dengan terdakwa lain.
Dan lebih dari itu, kembali ke poin kedua di atas, mestinya Hakim hanya menilai “aspek formil” dari alat bukti, bukan soal penilaian atas alat bukti itu, hal tersebut merupakan domain dan kewenangan dari pemeriksaan pokok perkara di ruang sidang.
Namun perlu digaris bawahi, bahwa catatan ICJR di atas tentu saja tidak terlepas dari belum adanya aturan yang komprehensif soal praperadilan, meski PERMA No. 4 tahun 2016 sudah hadir, namun belum mampu menutup celah yang masih banyak muncul.
Ada problem jangka waktu, dan problem hukum acara dalam Praperadilan yang tidak jelas dan abu abu antara perdata dan pidana yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum, dan masih banyak lagi persoalan lain.
Atas dasar itu, ICJR mendorong agar Pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif, salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah untuk mengatur Hukum Acara Praperadilan yang lebih komprehensif.